Sri Mulyani dan DPR RI Bersitegang Terkait Realisasi Anggaran Pendidikan 20 Persen
Oleh Tim Redaksi Moralita — Selasa, 22 Juli 2025 16:56 WIB; ?>

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.
Jakarta, Moralita.com – Rapat kerja antara Komisi XI DPR RI dan Kementerian Keuangan diwarnai perdebatan tajam antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Frederic Palit. Perbedaan pandangan mencuat terkait realisasi alokasi anggaran pendidikan yang belum mencapai 20 persen dari total belanja negara sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Dalam forum pembahasan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/7), Dolfie menyoroti rendahnya realisasi belanja fungsi pendidikan. Ia mempertanyakan mengapa realisasi tersebut tidak mencapai angka ideal sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Realisasi anggaran pendidikan tahun 2024 hanya sebesar 16,99 persen. Silakan tampilkan datanya,” ujar Dolfie dalam forum terbuka.
Politikus PDI Perjuangan tersebut mengaitkan hal ini dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007 dan 2008 yang menegaskan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan minimal 20 persen APBN untuk pendidikan. Ia menilai sejak putusan itu keluar, realisasi anggaran pendidikan cenderung stagnan.
“Dari data 2007 sebesar 18 persen dan 2008 sebesar 15,6 persen, hingga kini tidak menunjukkan perbaikan signifikan. Tahun 2025 pun, jika melihat pola sebelumnya, kemungkinan tetap hanya sekitar 17 persen. Artinya, putusan MK belum sepenuhnya dilaksanakan,” kata Dolfie tegas.
Ketegangan meningkat ketika Dolfie menyampaikan kutipan langsung dari putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007 yang menyebut bahwa pelaksanaan amanat UUD harus segera direalisasikan tanpa penundaan.
“Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang diabaikan. Kalau kita lihat ini, anggaran pendidikan yang tidak pernah menyentuh 20 persen merupakan bentuk pengabaian terhadap keadilan,” lanjutnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa kali berusaha menyampaikan klarifikasi, namun sempat ditolak oleh Dolfie yang menegaskan dirinya belum selesai berbicara. Ketika mendapat giliran menjawab, Sri Mulyani menekankan pentingnya fleksibilitas dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Komponen belanja pendidikan terdiri dari berbagai jenis, termasuk belanja barang dan belanja modal. Dalam praktiknya, penyerapannya sangat bergantung pada pelaksanaan di lapangan. Ketika penyerapan rendah, maka realisasi terhadap target 20 persen juga ikut terdampak,” jelasnya.
Ia mencontohkan dinamika fiskal saat terjadi fenomena El Niño, di mana pemerintah terpaksa menambah anggaran bantuan sosial sehingga memengaruhi porsi alokasi fungsi pendidikan.
“Tambahan bansos membuat belanja barang meningkat. Akibatnya, komposisi awal anggaran pendidikan seolah-olah menjadi lebih rendah,” ujarnya.
Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa sebagai bendahara negara, ia bertanggung jawab menyediakan bantalan fiskal untuk mengantisipasi fluktuasi ekonomi yang bisa berdampak pada berbagai sektor, termasuk pendidikan.
“Anggaran subsidi kompensasi misalnya, bisa meningkat drastis dari Rp350 triliun menjadi Rp550 triliun, bahkan sempat mencapai Rp600 triliun pada 2022. Ini menunjukkan bahwa dinamika APBN sangat cepat dan membutuhkan pengelolaan yang adaptif,” tambahnya.
Namun, Dolfie tetap mempertanyakan mengapa cadangan anggaran ditempatkan pada pos pendidikan, bukan pada sektor lain.
“Jika 3 persen dari target 20 persen anggaran pendidikan tidak direalisasikan, nilainya setara Rp80 triliun. Jumlah ini sangat besar dan seharusnya dapat memperkuat sektor pendidikan kita. Kenapa bukan sektor lain yang dijadikan bantalan?” tanya Dolfie retoris.
Ia juga menyebut bahwa strategi penganggaran yang menempatkan dana pendidikan dalam pos pembiayaan, bukan belanja langsung, justru berpotensi menimbulkan akumulasi utang tanpa memberi kontribusi nyata terhadap realisasi belanja pendidikan.
Menanggapi hal itu, Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan penempatan anggaran dalam bentuk cadangan justru bertujuan untuk menyelamatkan alokasi pendidikan agar tidak terserap ke program-program yang bersifat jangka pendek dan tidak berdampak lintas generasi.
“Tujuan utama kami adalah menjaga keberlanjutan dan efektivitas anggaran pendidikan, bukan mengabaikannya. Saya mengelola anggaran secara keseluruhan tanpa mengorbankan fungsi pendidikan,” tegasnya.
Rapat tersebut akhirnya mencerminkan kompleksitas dalam pengelolaan fiskal nasional, khususnya dalam menyeimbangkan antara kebutuhan konstitusional, dinamika ekonomi, dan tanggung jawab anggaran lintas sektor. Meski perdebatan berlangsung sengit, kedua belah pihak tetap menekankan pentingnya menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan nasional.
Artikel terkait:
- Komisi II DPR RI Soroti Rakor KPU-Bawaslu yang Kerap Digelar di Luar Kota, Substansi Penting tapi Citra Buruk Tak Terelakkan
- Cak Imin: Prabowo Hadirkan Cara Kerja Baru, Akhiri Pola Business as Usual dalam APBN
- Presiden Prabowo Kecewa Tewasnya Driver Ojol Dilindas Rantis Brimob, Perintahkan Penyelidikan Transparan
- Sri Mulyani: Penyesuaian Tarif BPJS Kesehatan untuk Jaga Keberlanjutan Program JKN
- Penulis: Tim Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar