Aparat Kepolisian dan TNI Diduga Lakukan Represi di Kampus, Korban Jiwa Jatuh di Sejumlah Daerah
Oleh Tim Redaksi Moralita — Kamis, 4 September 2025 08:03 WIB; ?>

Senin (1/9) malam, puluhan aparat bersenjata lengkap memasuki kawasan sekitar Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) di Taman Sari dan Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat.
Bandung, Moralita.com – Gelombang demonstrasi mahasiswa yang terjadi sejak akhir Agustus 2025 kembali diwarnai tindakan represif aparat kepolisian dan TNI. Pada Senin (1/9) malam, puluhan aparat bersenjata lengkap memasuki kawasan sekitar Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) di Taman Sari dan Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat.
Berdasarkan rekaman kamera CCTV di Jalan Wastukencana yang beredar di media sosial, suasana mencekam terjadi ketika truk-truk polisi hilir-mudik membawa personel. Aparat tampak menembakkan gas air mata ke dalam area kampus, membuat mahasiswa terjebak dan tidak dapat keluar.
Video lain di Instagram memperlihatkan polisi berbaris dengan tameng dan pentungan menyisir depan Kampus Unisba. Akibatnya, mahasiswa hanya bisa berlindung di gedung-gedung kampus karena kepungan asap gas air mata.
Keesokan harinya, Selasa (2/9), pantauan di lokasi menunjukkan kerusakan di gedung Unpas. Kaca pecah dan setidaknya 48 proyektil gas air mata ditemukan berserakan di area kampus.
Presiden Mahasiswa Unisba, Kamal Rahmatullah, mengecam tindakan aparat yang disebutnya tidak proporsional. “Serangan ini jelas merupakan bentuk tindakan represif, pelanggaran hukum yang menjijikkan, dan penghinaan terhadap nilai demokrasi serta otonomi kampus,” ujarnya dalam konferensi pers.
Menurut Kamal, serangan dimulai sekitar tengah malam setelah mahasiswa menggelar aksi damai. Gas air mata yang ditembakkan ke dalam kampus menyebabkan sejumlah mahasiswa mengalami luka fisik hingga gangguan pernapasan.
Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Rochmawan, menyampaikan bahwa peristiwa tersebut berawal dari patroli gabungan TNI-Polri. Petugas mendapati tumpukan batu, kayu, dan ban terbakar di Jalan Taman Sari.
“Di saat yang sama, ada sekelompok orang berbaju hitam yang diduga anarko melakukan blokade jalan. Mereka terus memprovokasi dari dalam kampus, bahkan melempar bom molotov,” jelas Hendra. Ia mengakui asap gas air mata memang masuk ke kampus, tetapi menurutnya hal itu terbawa angin.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyatakan komitmen untuk membuka ruang dialog dengan mahasiswa. Ia menegaskan bahwa demonstrasi harus tetap murni tanpa disusupi kelompok provokator.
“Mahasiswa Unisba sebenarnya sudah bubar sejak sore. Kericuhan malam hari itu dilakukan kelompok lain. Kita tidak ingin nama mahasiswa tercoreng karena penyusupan pihak luar,” ucap Dedi.
Selain insiden di Bandung, tindakan represif aparat juga memakan korban jiwa di beberapa daerah. Di Yogyakarta, Rheza Sendy Pratama, mahasiswa Amikom, meninggal dunia pada Minggu (31/8) usai mengikuti aksi di depan Mapolda DIY.
Kematian Rheza menimbulkan dugaan penganiayaan. Ayah korban, Yoyon Surono, menyebut tubuh anaknya penuh luka lebam, bekas sayatan, hingga tanda pijakan sepatu dinas.
Kapolda DIY, Irjen Pol Anggoro Sukartono, membantah tuduhan tersebut. Menurutnya, Rheza sempat diselamatkan aparat dalam kondisi lemah dan dibawa ke RSUP Dr. Sardjito, namun nyawanya tidak tertolong.
Di Semarang, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) bernama Iko Juliant Junior juga meninggal dunia. Pihak keluarga menduga kematiannya akibat penganiayaan aparat, namun Polda Jawa Tengah menyebut Iko tewas dalam kecelakaan lalu lintas di Jalan Veteran pada Minggu (31/8) dini hari.
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mengecam keras pola penanganan aksi yang dinilai sudah melampaui batas. “Aparat tidak lagi mengamankan jalannya aksi, melainkan melakukan represi sistematis dan teror terhadap rakyat,” tegasnya.
Wakil Koordinator KontraS, Andrie Yunus, juga menilai serangan ke Unisba dan Unpas melanggar kebebasan akademik. Menurutnya, pelibatan TNI dalam pengamanan demonstrasi mahasiswa tidak memiliki dasar hukum.
“Polisi wajib mengedepankan prinsip proporsionalitas. Namun faktanya justru penggunaan kekuatan berlebihan yang terjadi,” kata Andrie. Ia menegaskan klaim polisi soal gas air mata masuk karena tertiup angin sebagai dalih yang tidak masuk akal.
KontraS mencatat, sepanjang Januari–Juni 2025, terdapat 440 mahasiswa menjadi korban pelanggaran kebebasan sipil, mulai dari penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa, hingga penyiksaan. Polri menjadi institusi dengan catatan pelanggaran tertinggi.
Sejarah mencatat, represi serupa pernah terjadi pada Mei 1998 ketika empat mahasiswa Trisakti ditembak mati. Bahkan hingga November 1998, 18 mahasiswa kembali menjadi korban jiwa dalam aksi menolak Sidang Istimewa MPR.
Kini, setelah 27 tahun berlalu, pola kekerasan terhadap mahasiswa kembali berulang. Lembaga HAM mendesak agar aparat kepolisian menghentikan praktik represif dan memastikan hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat tetap dilindungi.
Artikel terkait:
- Bupati Situbondo dan Jurnalis Radar Sepakat Berdamai, Tegaskan Komitmen Jaga Kondusivitas
- Pemkot Bandung Targetkan Penurunan Pengangguran Jadi 6,4 Persen pada 2026, Gandeng Hipmi Perkuat Kewirausahaan
- Pakar Hukum Tata Negara: Kepala Daerah Dapat Diberhentikan Jika Abaikan Partisipasi Publik dalam Kebijakan
- Presiden Prabowo Terbitkan Perpres Perlindungan Negara terhadap Jaksa, Libatkan TNI, Polri, dan Lembaga Intelijen
- Penulis: Tim Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar