Dugaan Pungli 3,5 Miliar di MTsN 3 Mojokerto, Komite Difungsikan Sebagai Rekening Bayangan
Oleh Alief — Selasa, 21 Oktober 2025 15:07 WIB; ?>

MTsN 3 Mojokerto atau kerap disebut MTsN Bangsal.
Mojokerto, Moralita.com – Aroma tak sedap soal dugaan pungutan liar (pungli) di lingkungan pendidikan kembali menyeruak, kali ini dari lembaga pendidikan keagamaan negeri MTsN 3 Mojokerto atau kerap disebut MTsN Bangsal.
Dua wali murid resmi dipanggil penyidik Polres Mojokerto (20/10) untuk dimintai keterangan awal terkait laporan dugaan pungli miliaran rupiah yang disebut melibatkan komite sekolah dan pihak kepala madrasah.
Pemanggilan tersebut menjadi langkah awal aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti laporan masyarakat yang sudah beberapa minggu terakhir ramai dibicarakan. Kedua pelapor datangi ke Satreskrim Polres Mojokerto, membawa dokumen dan bukti pendukung yang diyakini menguatkan dugaan praktik pungutan yang dikemas dalam istilah ‘sumbangan sukarela’.
“Kami dipanggil kemarin untuk dimintai keterangan awal terkait pengaduan masyarakat yang telah kami layangkan beberapa waktu lalu. Banyak wali murid lain juga menanyakan transparansi penggunaan dana, tapi sampai sekarang belum ada laporan resmi,” ujar Nrl, salah satu wali murid, Selasa (21/10).
Sumbangan Sukarela Kok Wajib, Nilai Dugaan Capai Rp3,5 Miliar
Menurut data yang dihimpun pelapor, pungutan itu sudah berlangsung lama, dengan pola yang mereka sebut ‘terstruktur dan sistematis’, dilakukan setiap tahun dengan dalih sumbangan sukarela. Namun, dalam praktiknya, besaran nominal dan kewajiban pembayaran dianggap tidak lagi mencerminkan sukarela melainkan kewajiban terselubung.
Ary Yudistira, paralegal dari Kantor Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita, menyebut, jika dikalkulasikan dari jumlah siswa per September 2025 yang mencapai 887 orang, total dana yang terkumpul per tahun bisa mencapai Rp1,17 miliar.
“Dalam tiga tahun terakhir, komite sekolah diduga mengelola dana wali murid hingga sekitar total Rp3,5 miliar,” ungkapnya.
Temuan itu membuat masyarakat geleng kepala terutama karena lembaga yang seharusnya menjadi benteng moral dan pendidikan justru diduga mempraktikkan skema yang menyerupai ‘ATM berjamaah’ atas nama gotong royong pendidikan.
Menanggapi perkembangan kasus tersebut, Ketua DPD FKI-1, Wiwit Hariyono, memberikan respon kritis sekaligus sindiran keras terhadap fenomena pungutan di sekolah negeri.

Ketua DPD FKI-1 Mojokerto, Wiwit Hariyono.
Menurutnya, kasus ini tidak hanya mencoreng wajah dunia pendidikan, tapi juga menunjukkan lemahnya pengawasan sistemik terhadap praktik keuangan di satuan pendidikan.
“Sekolah negeri itu seharusnya jadi ruang pembebasan, bukan tempat pembebanan. Kalau sumbangan sudah ditentukan nominalnya dan diwajibkan, itu bukan partisipasi, tapi pungli berjubah solidaritas,” tegas Wiwit kepada Moralita.com.
Ia menilai, pola seperti ini sudah lama menjadi praktik laten dalam birokrasi pendidikan di daerah, di mana komite sekolah dijadikan tameng legal untuk menarik dana dari masyarakat tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
“Modus klasik, Komite sekolah difungsikan seperti ‘rekening bayangan’. Padahal secara tegas, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 melarang komite menarik pungutan kepada peserta didik. Tapi di lapangan, larangan itu diakali lewat kata ‘sumbangan sukarela’. Ironinya, sumbangan sukarela itu malah lebih wajib daripada zakat fitrah,” paparnya.
Sumbangan, Pungli, dan Bantuan, Tiga Istilah, Tiga Dunia Hukum yang Tak Bisa Disamakan
Wiwit kemudian menjelaskan secara rinci dasar hukumnya. Menurutnya, Pasal 1 ayat (5) Permendikbud 75/2016 menegaskan bahwa sumbangan adalah pemberian berupa uang, barang, atau jasa oleh peserta didik, orang tua/walinya, baik perorangan maupun bersama-sama, masyarakat, atau lembaga secara sukarela dan tidak mengikat satuan pendidikan.
“Perlu dicatat, jika ada unsur paksaan, batas waktu, atau nominal yang sudah ditentukan, maka itu otomatis masuk ranah pungli bukan sumbangan,” jelasnya.
Sementara itu, lanjut Wiwit, Pasal 1 ayat (4) dalam regulasi yang sama menjelaskan bahwa pungutan adalah penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik atau orang tua/wali yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktunya ditentukan.
“Jadi, ketika sekolah atau komite menentukan angka dan mewajibkan pembayaran, jelas itu sudah masuk kategori pungli, bukan sumbangan sukarela,” tegasnya.
Adapun bantuan, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (3), adalah pemberian berupa uang, barang, atau jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang tua/walinya — misalnya lembaga, donatur, atau CSR perusahaan dengan syarat yang disepakati para pihak.
“Intinya, bantuan itu dari luar, bukan dari orang tua. Jadi komite hanya boleh menggalang dana dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bukan pungutan,” paparnya.
Wiwit menambahkan, pelanggaran terhadap batas-batas tersebut berpotensi berimplikasi hukum, apalagi jika dikaitkan dengan Pasal 12 huruf e UU Tipikor yang melarang pejabat publik memaksa pemberian sesuatu dengan dalih jabatan.
Intimidasi Akademik: Ketika Rapor dan Ujian Jadi Alat Tekanan
Lebih jauh, Wiwit juga menyoroti fenomena intimidasi akademik yang kerap muncul bersamaan dengan praktik pungutan di sekolah.
“Kalau sudah sampai ada ancaman seperti ‘kalau belum bayar tidak boleh ikut ujian, tidak dapat rapor’, itu bukan lagi kebijakan pendidikan, tapi teror birokrasi. Sekolah yang seperti ini kehilangan nilai-nilai pendidikan moralnya,” jelasnya.
Menurutnya, jika praktik semacam itu terbukti dilakukan, maka hal itu bukan hanya pelanggaran etik, tapi juga pelanggaran hak anak untuk memperoleh pendidikan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
“Negara menjamin hak pendidikan tanpa diskriminasi. Kalau ada sekolah yang memblokir akses belajar karena uang, itu sama saja menutup pintu masa depan anak bangsa dengan gembok pungutan,” kritiknya.
Lebih jauh, Wiwit menegaskan bahwa akar persoalan ini adalah soal paradigma dimana pendidikan publik kerap dikelola dengan logika proyek, bukan pelayanan.
“Sekolah negeri seharusnya berdiri di atas prinsip keadilan sosial dan pelayanan publik. Tapi kalau pungutan dijadikan sumber pendanaan, itu artinya Pemerintah dan lembaga turunannya gagal menunaikan mandat konstitusional mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Wiwit geram.
Ia menegaskan, penegakan hukum dalam kasus MTsN 3 Mojokerto harus menjadi preseden penting.
“Kalau Polres Mojokerto berani membuka kasus ini secara transparan, itu akan jadi tonggak baru dalam reformasi sektor pendidikan. Biar tidak ada lagi sekolah negeri rasa swasta dengan pungutan rasa premium,” katanya.
Masyarakat Harus Mengawasi, Pemerintah Harus Hadir
Wiwit menutup keterangannya dengan ajakan kepada masyarakat untuk ikut mengawal proses hukum ini.
“Kemenag harus segera bertindak, jangan sampai pendidikan yang seharusnya jadi jalan keluar kemiskinan malah dijadikan alat menjerat rakyat kecil lewat pungutan,” tandasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Polres Mojokerto masih melakukan pemeriksaan awal terhadap laporan tersebut. Sementara itu, pihak MTsN 3 Mojokerto dan Kementerian Agama Kabupaten Mojokerto belum memberikan keterangan resmi.
Catatan Redaksi:
Sekolah seharusnya mencetak generasi cerdas, bukan generasi yang trauma bayar notabene ‘sumbangan’ tiap semester. Kalau belajar harus lewat dompet dulu, yang berkembang bukan otak, tapi utang wali murid.
Artikel terkait:
- KPK Periksa Dirjen PHU Kemenag Terkait Dugaan Korupsi Kuota dan Pengelolaan Haji 2024
- Begini Penjelasan Polres Mojokerto Penyebab Rumah Anggotanya Meledak Dahsyat sampai 2 Orang Meninggal
- Ratusan Guru PAI di Mojokerto Belum Tersertifikasi, Kemenag Siapkan Usulan Sertifikasi Tahun Depan
- Komisi VIII DPR: Menag Akan Benar-benar Menjadi Ulama Usai Tak Lagi Urus Haji
- Penulis: Alief
Saat ini belum ada komentar