Etis atau PMH? Anggota DPRD Mojokerto Raup Honor Narasumber Jutaan Perjam dari Program OPD yang Mereka Awasi
Oleh Alief — Selasa, 14 Oktober 2025 16:51 WIB; ?>

Agenda sosialisasi wawasan kebangsaan yang dihadiri DPRD Kabupaten Mojokerto ssbagai narasumber di Desa Ketapanrame Trawas.
Mojokerto, Moralita.com – Fenomena anggota DPRD Kabupaten Mojokerto yang kerap tampil sebagai narasumber dengan honor perjam dalam kegiatan resmi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) maupun kantor kecamatan kini menjadi kritik publik dan pengamat kebijakan.
Praktik tersebut, meski dikemas dalam kegiatan edukatif seperti sosialisasi Koperasi Desa, Wawasan kebangsaan, hingga penyuluhan publik. Hal ini dinilai berpotensi melemahkan fungsi pengawasan pemerintahan, prinsip akuntabilitas keuangan publik, bahkan masuk kategori konflik kepentingan (conflict of interest).
Ketua Ormas Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1), Wiwit Hariyono, menyoroti tren yang mulai masif sejak pertengahan 2025. Ia menyebut bahwa sejumlah agenda resmi di lingkungan OPD dan kecamatan di Kabupaten Mojokerto menghadirkan anggota DPRD sebagai narasumber, padahal kegiatan tersebut dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disusun, disetujui, dan disahkan oleh DPRD itu sendiri.

Wiwit Hariyono, Ketua Ormas FKI-1 saat di depan Gedung Rakyat DPRD Kabupaten Mojokerto.
“Artinya DPRD bisa menjadi pihak yang menetapkan sekaligus penerima manfaat dari anggaran yang mereka buat sendiri. Lho bahaya ini, wasit ikut main bola,” ungkap Wiwit kepada Moralita.com, Selasa (14/10).
Beberapa laporan menyebut, anggota DPRD yang hadir sebagai narasumber menerima honorarium antara Rp1 juta hingga Rp1,4 juta per jam, dengan durasi kegiatan 2–3 jam per hari. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar:
Apakah etis lembaga legislatif yang memiliki fungsi pengawasan terhadap eksekutif/pemerintah justru menerima kompensasi honor langsung dari kegiatan yang seharusnya diawasi?
Secara hukum tata pemerintahan, praktik ini bersinggungan dengan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (jo. UU No. 9 Tahun 2015), yang mengatur fungsi DPRD meliputi pembentukan peraturan daerah, penganggaran dan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan dan APBD.
Dengan demikian, menurut Wiwit fungsi DPRD hanya pada legislatif dan pengawasan, bukan pelaksana kegiatan pemerintahan. Ketika DPRD menjadi bagian dari kegiatan eksekutif yang dibiayai APBD, maka muncul dua pelanggaran mendasar yakni:
Pertama, terjadi pelanggaran prinsip separation of power antara legislatif dan eksekutif.
Kedua, muncul konflik kepentingan, sebab DPRD terlibat dalam kegiatan yang mereka awasi sendiri.
Lebih jauh, penerimaan honorarium dari kegiatan yang bersumber dari APBD dapat dikualifikasikan sebagai potensi gratifikasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hubungan fungsional antara OPD (pemberi honorarium) dan DPRD (penerima) bersifat non-netral, karena DPRD memiliki otoritas dalam pengesahan dan pengawasan anggaran yang digunakan untuk membayar honor untuk kelompoknya sendiri.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, dijelaskan bahwa anggota DPRD dilarang melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dan harus menjaga integritas dalam hubungan kerja dengan eksekutif.
Dengan kata lain, kehadiran anggota DPRD sebagai narasumber kegiatan eksekutif hanya dapat dibenarkan jika bersifat non-komersial (tak berbayar) dan dalam kapasitas fungsi representasi publik, bukan sebagai profesi berbayar.

Peraturan Presiden No 72 Tahun 2025 tentang Harga Satuan.
Fenomena ini secara administratif dan etis dapat dikategorikan sebagai maladministrasi berbasis konflik peran, di mana pejabat publik menggunakan jabatan politiknya untuk memperoleh keuntungan finansial dari kegiatan yang seharusnya mereka awasi.
Tanggapan DPRD Mojokerto: Kegiatan Sah dan Sesuai Fungsi Pengawasan
Menanggapi sorotan tersebut, Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Mojokerto, Sujatmiko, menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengkritik, namun pihaknya menegaskan kegiatan tersebut sah secara hukum.

Komisi I DPRD Kabupaten Mojokerto, Sujatmiko.
“DPRD hadir sebagai narasumber OPD merupakan bagian dari fungsi pengawasan dan edukasi publik. Kami turut membantu pemerintah daerah dalam mensosialisasikan produk hukum dan kebijakan agar lebih dipahami masyarakat,” ujar Politikus Gerindra kepada Moralita.com.
Menurut Sujatmiko, kehadiran DPRD dalam kegiatan seperti workshop atau pelatihan merupakan bagian dari amanat Presiden Prabowo Subianto agar wakil rakyat lebih dekat dengan masyarakat di tengah situasi ekonomi global yang tidak menentu.
Ia juga menegaskan bahwa kegiatan tersebut telah melalui proses perencanaan dan penganggaran sesuai regulasi yang berlaku, dengan pelaksana teknis berada di bawah tanggung jawab OPD, bukan DPRD.
“DPRD bukan pengguna anggaran. Kami hanya diundang sebagai narasumber. Semua kegiatan dilakukan oleh OPD, sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tegas Jatmiko.
Menurutnya, menilai dan mengatur posisi DPRD dalam konteks kegiatan publik, terdapat sejumlah regulasi utama yang perlu dicermati:
1. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan pembagian fungsi legislatif dan eksekutif.
2. UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang mengatur fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
3. PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Tata Tertib DPRD, yang melarang anggota DPRD melakukan aktivitas yang menimbulkan konflik kepentingan.
Dalam konteks ini, DPRD dapat menjadi narasumber hanya jika materi yang disampaikan terkait langsung dengan fungsi legislasi, pengawasan, dan edukasi politik publik
“Bukan semata-mata segala macam program OPD kami diundang sebagai narsum dan diberikan honor,” ungkap Jatmiko.
Secara akademis, praktik anggota DPRD menjadi narasumber kegiatan eksekutif mengaburkan garis batas antara legislatif dan eksekutif, dan berpotensi merusak integritas sistem pengawasan anggaran daerah.
Wiwit melanjutkan, dalam konteks good governance, praktik ini bertentangan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan independensi fungsi pengawasan publik.
Idealnya, jika anggota DPRD ingin memberikan edukasi publik atau menjadi narasumber, kegiatan tersebut harus:
- Dilakukan tanpa imbalan finansial,
- Difasilitasi dalam bentuk forum resmi DPRD (bukan kegiatan OPD),
- Dibiayai melalui pos anggaran kesekretariatan DPRD, bukan OPD, dan
- Dilaporkan secara terbuka kepada publik sebagai bagian dari kinerja legislasi dan edukasi politik.
Catatan Redaksi:
Fenomena ini membuka diskursus penting tentang etika politik lokal dan profesionalisme penyelenggara pemerintahan daerah.
Di tengah upaya efisiensi anggaran dan pemberantasan praktik koruptif, kejelasan batas fungsi antara DPRD dan OPD bukan hanya soal prosedural, melainkan soal moralitas dan kredibilitas pemerintahan daerah.
Karena itu, Badan Kehormatan DPRD serta Inspektorat perlu melakukan telaah etika menyeluruh agar praktik semacam ini jelas dan tidak ada potensi pelanggaran hukum.
Artikel terkait:
- RSUD Prof. dr. Soekandar Optimalkan Kesadaran Kesehatan Mental Di Tempat Kerja Lewat Forum SIAR DUHA
- Suwandy Firdaus Ketua FSP-RTMM SPSI Mojokerto Desak Pengusaha Bayar THR Penuh Sebelum H-7 Lebaran
- KPK Soroti Lonjakan Anggaran Pokir DPRD Bojonegoro hingga Potensi Konflik Kepentingan Pengadaan Barang/Jasa
- RSUD Soekandar Mojosari Mojokerto Buka Klinik Paru dan Penyakit Dalam Sore Hari
- Author: Alief
At the moment there is no comment