Jerat Hukum Menanti Kegiatan Narsum Wasbang DPRD Kabupaten Mojokerto, Terkuak Politik Anggaran Akali Inpres 1/2025
Mojokerto, Moralita.com – Polemik kegiatan narasumber wawasan kebangsaan (Wasbang) yang digelar oleh seluruh kecamatan di Kabupaten Mojokerto perlahan membuka lembar baru dalam drama tata kelola fiskal daerah.
Di permukaan, kegiatan ini tampak nasionalis dan edukatif semacam roadshow ideologi kebangsaan yang melibatkan anggota DPRD sebagai pengisi acara.
Namun, di balik itu, tersimpan cerita politik fiskal yang lebih kompleks.
Pasca terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja daerah, sehingga dikeprasnya anggaran kunjungan kerja (Kunker) Dewan Kabupaten Mojokerto sebanyak 50 persen atau senilai kurang lebih Rp14 miliar.
Ketua Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1), Wiwit Hariyono, menilai fenomena ini sebagai bentuk ‘kamuflase politik anggaran’ yang dilakukan secara sistematis untuk mengamankan pos ‘ceperan’ dewan setelah efisiensi diberlakukan.
“Ini bukan kegiatan ideologis murni. Ini cara mengakali pendapatan dewan yang terpangkas efisiensi. Istilahnya, tukar kepras separuh anggaran kunker yang dipotong dialihkan ke kegiatan honor narsum di kecamatan,” ujar Wiwit kepada wartawan, Rabu (22/10).
Wiwit menyebut menurut informasi yang dihimpun selama ini bahwa Dewan sempat membuat drama sengaja mendead-lockan pengesahkan P-APBD 2025 kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Mojokerto.
Drama Deadlock ini disebut Wiwit karena Dewan ‘Mutung’, pura-pura menolak mengesahkan dokumen P-APBD jika jatah perjalanan dinas mereka dikurangi dan tidak ada alternatif pengganti.
Begitu ketaranya, saat muncul opsi kamuflase anggaran lewat kegiatan narasumber Wasbang yang diatur TAPD di Kecamatan hari berikutnya P-APBD langsung diketok palu sama Dewan.
“TAPD mengarahkan kuasa pengguna anggaran narsum wasbang ke Kecamatan tanpa dasar hukum kenapa? disinyalir ketakutan jika di Bakesbangpol maka terjadi penolakan,” ungkapnya.
Wiwit menegaskan, dalam konteks hukum keuangan daerah, langkah tersebut berpotensi melanggar ketentuan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 dan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Aturannya jelas. Kalau P-APBD deadlock dan batas waktu terlewati, maka DPRD juga kena sanksi, terberatnya tidak menerima gaji hingga enam bulan, seharusnya TAPD tidak usah takut tidak di dok karena dewan juga kena sanksi jika sampai natas akhir tak mengesahkan,” tegasnya.
Pengakuan sejumlah Camat di Kabupaten Mojokerto ternyata sejak awal telah menyampaikan penolakan dan kebingungan terhadap mekanisme kegiatan Narsum Wasbang ini.
Salah satu camat yang memohon agar namanya tak disebut dengan alasan keamanan mengungkapkan, bahwa para camat sempat mengajukan surat permohonan review kepada Inspektorat karena merasa tidak punya dasar kewenangan dalam mengelola kegiatan wawasan kebangsaan.
“Sejak awal Camat sebenarnya menolak. Kami juga sudah minta arahan dan review karena tidak tahu kegiatan ini mau ditaruh di bidang apa. Secara tupoksi, kecamatan tidak punya urusan di bidang ideologi kebangsaan. Tapi arahan dari atas tetap jalan,” ujarnya.
Kebingungan itu bahkan merembet ke pos anggaran internal kecamatan. Karena tidak ada seksi yang secara struktural menangani urusan ideologi atau pembinaan kebangsaan, akhirnya anggaran kegiatan narasumber ini ‘dititipkan’ ke Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum (Tramtib) yang notabene beririsan dengan Satpol PP.
“Ya akhirnya ditaruh di seksi Tramtib, karena bingung mau di mana lagi. Padahal itu jelas tidak relevan secara nomenklatur,” sambung Camat.
Fakta ini semakin memperkuat dugaan bahwa desain kegiatan Narsum Wasbang tersebut tidak lahir dari kebutuhan substantif kecamatan, melainkan dari rekayasa administratif DPRD dan TAPD.
“Secara substantif, eksekutif bisa dibilang menyuap dewan dengan dalih honor narsum agar mau sahkan P-APBD, sambung Wiwit.
“Ini bukan murni kesalahan camat. Mereka hanya pelaksana teknis yang dipaksa jadi eksekutor kebijakan yang keliru sejak hulu. Dan kalau nanti KPK turun, yang pertama kali kena bukan TAPD, tapi Bupati sebagai PA. Di situlah jebakan Batman-nya,” tambah Wiwit.
Ia mengingatkan kepada Bupati Mojokerto bahwa praktik semacam ini berpotensi akan mengurangi penilaian Monitoring, Controlling, and Surveillance for Prevention (MCSP) dari KPK untuk Pemerintah Kabupaten Mojokerto.
MCSP merupakan indikator kinerja tata kelola pemerintahan bersih yang diukur berdasarkan integritas fiskal, akuntabilitas, dan kepatuhan prosedural.
“Kami sudah laporkan ini ke KPK, unsur jelas terpenuhi melanggar Pasal 2 dan 3 UU Tipikor,” ucap Wiwit.
Tindakan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, adanya niat memperhalus skema pembagian kue anggaran melalui mekanisme narasumber berbayar, mirisnya jumlahnya signifikan (hingga puluhan juta perbulan tiap DPRD) sampai Desember 2025.
“Hal ini juga termasuk dalam modus pengalihan anggaran atau self-benefiting project,” katanya.
Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan, DPRD memiliki kewenangan legislasi dan pengawasan, bukan eksekusi kegiatan.
Wiwit menyebut ketika DPRD memanfaatkan posisi politiknya untuk menekan TAPD (Eksekutif) agar memasukkan kegiatan Narsum Wasbang di kecamatan, itu bentuk penyalahgunaan kewenangan.
Camat yang juga menandatangani dokumen pertanggungjawaban kegiatan diluar tupoksinya sebagai juga bentuk menyalahgunakan kesempatan administratif.
Potensi merugikan keuangan negara
Kerugian terjadi saat APBD dikeluarkan untuk kegiatan yang tidak sesuai ketentuan dan fungsional domain perangkat daerah.
Honorarium DPRD dari kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai pembayaran tidak sah, sehingga menjadi kerugian keuangan negara.
“Ketika APBD digunakan untuk kegiatan yang tidak sah secara administratif dan fungsional, maka seluruh pembayaran menjadi kerugian negara,” ungkapnya.
Tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain
Kajian Wiwit, honor narasumber ( Rp1,4 juta per jam untuk pimpinan DPRD dan Rp1 juta per jam untuk anggota) jelas menambah pendapatan pribadi DPRD di luar hak resmi.
Penting untuk diketahui bahwa pengembalian uang kerugian negara, meskipun dilakukan, tidak menghapus potensi pidana bagi pelakunya. Oleh karena itu pelaku tetap harus menjalani proses hukum.






