Senin, 21 Jul 2025
light_mode
Home » Government » Kemnaker Terbitkan SE Larangan Penahanan Ijazah: Langkah Awal Menuju Reformasi Hubungan Industrial

Kemnaker Terbitkan SE Larangan Penahanan Ijazah: Langkah Awal Menuju Reformasi Hubungan Industrial

Oleh Redaksi Moralita — Kamis, 22 Mei 2025 15:25 WIB

Jakarta, Moralita.com — Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker) resmi menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 yang berisi larangan bagi pemberi kerja untuk menahan ijazah maupun dokumen pribadi milik pekerja atau buruh. Kebijakan ini diumumkan oleh Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, pada Selasa (20/5/2025), dan ditujukan kepada seluruh gubernur di Indonesia untuk diteruskan kepada bupati dan wali kota di masing-masing daerah.

Ilustrasi Ijazah

Ilustrasi Ijazah

Langkah ini diambil sebagai bentuk respons pemerintah terhadap masih maraknya praktik penahanan dokumen penting oleh pemberi kerja, yang selama ini belum memiliki payung hukum eksplisit. Melalui SE ini, Kemnaker menegaskan bahwa pemberi kerja dilarang mensyaratkan maupun menahan ijazah atau dokumen pribadi sebagai jaminan kerja.

Dokumen pribadi yang dimaksud meliputi dokumen asli seperti ijazah, sertifikat kompetensi, paspor, akta kelahiran, buku nikah, serta bukti kepemilikan kendaraan bermotor. Pemerintah daerah melalui dinas ketenagakerjaan diimbau untuk melakukan pembinaan, pengawasan, serta penyelesaian kasus terkait pelanggaran terhadap ketentuan ini.

Reaksi Serikat Pekerja: Apresiasi dan Kritik Konstruktif

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat, menyambut positif diterbitkannya surat edaran ini. Ia menilai kebijakan tersebut merupakan langkah awal yang penting untuk memperbaiki iklim hubungan industrial di Indonesia. Menurutnya, penahanan ijazah oleh perusahaan telah menjadi praktik yang berlangsung lama namun tidak pernah secara tegas dilarang oleh regulasi nasional.

Baca Juga :  KPK Tetapkan Sejumlah Tersangka dalam Kasus Dugaan Korupsi RPTKA di Kementerian Ketenagakerjaan

Namun, Mirah juga mengkritisi adanya pengecualian dalam SE tersebut. Dalam poin keempat, disebutkan bahwa penyerahan ijazah atau sertifikat kompetensi dapat dilakukan apabila dokumen tersebut diperoleh melalui program pelatihan yang dibiayai oleh pemberi kerja berdasarkan perjanjian kerja tertulis. Dalam hal ini, pemberi kerja wajib menjaga keamanan dokumen dan bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan.

Mirah menilai pengecualian ini membuka celah bagi pemberi kerja untuk tetap melakukan praktik penahanan dokumen secara terselubung. “Kalau memang ada program pelatihan, cukup dibuat perjanjian tertulis bermaterai, tidak perlu menahan dokumen pribadi pekerja,” tegasnya.

Dukungan Akademisi: Perlunya Regulasi Hukum yang Mengikat

Pakar hukum ketenagakerjaan dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M. Hadi Shubhan, turut mengapresiasi langkah Kemnaker. Ia menyatakan bahwa secara prinsip, penahanan ijazah oleh perusahaan merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia karena bertentangan dengan prinsip kebebasan bekerja. Praktik ini, lanjutnya, membatasi mobilitas sosial dan profesional pekerja.

Namun, Hadi juga menyoroti belum adanya regulasi hukum nasional yang secara tegas mengatur pelarangan penahanan ijazah dalam hubungan kerja. Ia mendorong agar SE Kemnaker dapat menjadi fondasi awal menuju pembentukan undang-undang yang lebih kuat. Hadi mencontohkan bahwa beberapa daerah telah memiliki regulasi spesifik, seperti Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 8 Tahun 2016 yang melarang penahanan dokumen pribadi oleh pengusaha.

Baca Juga :  Gugatan Kubu Risma-Gus Hans ke MK Diregister, Tim Khofifah-Emil Daftar Pihak Terkait

Pandangan Pengusaha: Perlu Konteks dan Fleksibilitas

Dari sisi pengusaha, Surat Edaran ini mendapatkan sambutan beragam. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, menyatakan bahwa pada prinsipnya penahanan ijazah untuk mencegah pekerja berpindah kerja adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Namun, ia menekankan pentingnya memahami konteks tiap kasus, misalnya penahanan sebagai jaminan atas pinjaman atau tanggungan lain.

Hal serupa disampaikan Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah. Ia mengaku belum menemukan praktik penahanan ijazah di sektor ritel yang diwakilinya. Namun, ia menilai bahwa dalam konteks hubungan bisnis-ke-bisnis (B2B), penggunaan dokumen sebagai jaminan masih kerap terjadi dan tidak bisa langsung dilarang tanpa memahami dinamika yang menyertainya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Sarman Simanjorang, menegaskan bahwa pengusaha pada dasarnya mendukung surat edaran ini. Ia berharap pemerintah daerah dapat segera menyusun aturan turunan berupa peraturan kepala daerah agar implementasinya bisa efektif di lapangan.

Peran Pemerintah dan Pengawasan yang Berkelanjutan

Menaker Yassierli menegaskan bahwa SE ini merupakan langkah awal menuju penyusunan regulasi yang lebih komprehensif dalam Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tengah digodok bersama DPR. Ia menambahkan bahwa praktik penahanan ijazah seringkali dilakukan untuk menahan pekerja agar tetap loyal dalam jangka waktu tertentu, atau dijadikan jaminan piutang tanpa persetujuan jelas.

Baca Juga :  Diskon 50 Persen Tarif Listrik, Bagi Pelanggan Rumah Tangga PLN

Peneliti ekonomi dari The Indonesian Institute (TII), Putu Rusta Adijaya, menilai SE Kemnaker sebagai bentuk nyata kehadiran negara dalam melindungi hak pekerja. Namun, ia mengingatkan bahwa efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada komitmen pemerintah dalam pelaksanaan dan pengawasan di lapangan. Ia menekankan pentingnya penguatan kanal aduan, pelibatan masyarakat sipil, serta sanksi tegas terhadap pelanggar.

“Tanpa pengawasan yang ketat dan berkelanjutan, risiko terjadinya kembali praktik ini tetap tinggi, apalagi di tengah kondisi pasar tenaga kerja yang sangat kompetitif,” ujar Rusta.

Kesimpulan: Menuju Ekosistem Ketenagakerjaan yang Lebih Adil

Penerbitan SE Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 oleh Kementerian Ketenagakerjaan menandai komitmen pemerintah dalam membenahi relasi industrial di Indonesia. Meski belum memiliki kekuatan hukum setara undang-undang, kebijakan ini menjadi pijakan awal yang krusial untuk mendorong lahirnya regulasi yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada pekerja.

Dengan kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, pengusaha, serta pengawasan aktif dari masyarakat dan media, diharapkan praktik-praktik eksploitatif seperti penahanan dokumen pribadi oleh pemberi kerja dapat dihapuskan secara menyeluruh dari dunia kerja Indonesia.

  • Author: Redaksi Moralita

Komentar (0)

At the moment there is no comment

Please write your comment

Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) are required

expand_less