Konflik PBNU Dari Narasumber Zionis Sampai Aroma Berebut Kuasa Tambang Batu Bara 160 Triliun
Moralita.com – Polemik yang kini menggelegak di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sejatinya bermula dari sebuah anugerah dimana dalam bayangan banyak orang seharusnya menjadi pintu kebaikan.
Pasca Pemerintah memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) seluas 26.000 hektare, eks konsesi Kaltim Prima Coal, dengan nilai ekonomi yang ditaksir mencapai Rp150–160 triliun.
Jika dikelola dengan benar, nilai sebesar itu mampu mengubah peradaban memperkuat pesantren, menyejahterakan warga NU, dan menjaga martabat jamiyah agar tidak bergantung pada siapa pun kecuali Allah dan para ulama.
Namun, sebagaimana sejarah panjang manusia di mana uang selalu menebarkan jejak ujian retakan mulai muncul bahkan sebelum pemerintahan baru terbentuk.
Beredar kabar kuat mengenai tiga petinggi yang diduga telah membuat kesepakatan awal dengan calon operator tambang dari pihak BT. Disebutkan pula adanya aliran uang muka Rp40–70 miliar, lengkap dengan komitmen politik yang tak pernah dibahas dalam forum resmi. Disinyalir dari sinilah titik mula gesekan yang perlahan berubah menjadi jurang.
Ketegasan yang Mengubah Peta, Tambang adalah Amanah Negara
Situasi berubah drastis setelah Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dilantik menjadi Menteri Sosial. Dalam dinamika pergeseran kekuasaan di tingkat nasional, Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengambil posisi tegas.
Tambang ini adalah amanah negara. Keuntungannya hanya untuk warga NU. Tidak boleh ada satu pun yang mengaku-aku sebagai kepentingan pribadi. Dan yang paling penting, pengelolaan WIUPK harus berada dalam restu Presiden Prabowo Subianto. Tanpa restu Presiden, Gus Yahya tidak bersedia memikul tanggung jawab apa pun.
Ketegasan itu memutus jalur kepentingan yang diduga telah disiapkan sebagian pihak. Di sinilah bara merembet, diam-diam, tapi pasti.
Manuver di Balik Layar, Ketegangan Naik ke Permukaan
Isu yang beredar kian menguat jika Gus Ipul dan Gudfan Arif Ghofur diduga memilih mempertahankan kedekatan dengan calon operator awal. Melalui Rais Aam, mereka dikabarkan membangun aliansi dengan dukungan kekuatan eksternal termasuk unsur penegak hukum dan sumber daya ekonomi dari BT.
Posisi ini dianggap berseberangan dengan kebijakan Presiden terkait perubahan pemegang operator WIUPK. Persepsi ketegangan itu mengkristal ketika berbagai langkah mulai tampak diarahkan untuk mereduksi kewenangan Ketua Umum, seolah ingin menggiring NU ke jalur berbeda dari arah negara.
Kuasa Tambang Dari Negara Menjelma Menjadi Medan Pertempuran Kekuasaan
Di tahap inilah tambang tidak lagi sekadar tambang. Ia berubah menjadi medan perebutan otoritas, lengkap dengan operasi politis dan narasi yang disiapkan rapi.
Mulai dari persoalan narasumber AKN NU, tuduhan pro-Zionis, isu tata kelola keuangan.
semua tiba-tiba mengemuka sebagai dalih untuk menjatuhkan Ketua Umum Gus Yahya. Namun siapa pun yang cermat tentu dapat membaca akar masalahnya bukan itu. Akar masalahnya adalah penolakan terhadap keteguhan agar NU berada di jalur negara, bukan jalur gelap kepentingan privat.
Risalah Pemecatan dan Keterkejutan Jamaah
Ketika Rais Aam kemudian mengeluarkan draft risalah yang berisi pemecatan Ketua Umum, banyak warga NU terperanjat. Dokumen tersebut bukan hasil mekanisme muktamar, bukan hasil musyawarah besar, dan bukan pula bagian dari forum jamiyah yang legitimate.
Ia lahir dari tekanan yang menyelinap seperti asap ke ruang-ruang keputusan.
Dan pada momen itu, banyak warga NU memahami bahwa yang dipertaruhkan bukan lagi organisasi, melainkan sumber daya triliunan rupiah yang nilainya tak pernah terbayangkan oleh para muassis pendiri NU.
Istilah bohir, ijon tambang, tekanan lembaga, hingga permainan uang tiba-tiba menjadi obrolan rutin di teras-teras pesantren tempat yang biasanya diisi shalawat dan ngaji kitab.
Para kiai, yang selama ini memilih diam, mulai bicara karena marwah jamiyah dirasa sedang dipertaruhkan.
Pertanyaan pun muncul dari kalangan bawah hingga elit pesantren bahwa bisakah masa depan NU dipindahtangankan hanya dengan satu tanda tangan di ruang gelap? Bisakah perjuangan para ulama pendiri dikalahkan oleh hitungan proyek tambang triliunan?
Konflik Ini Tidak Lahir dari Kitab, Ia Lahir dari Tambang
Konflik ini bukan perbedaan manhaj. Bukan perbedaan tradisi.
Konflik ini lahir dari tambang dari harta yang seharusnya membawa berkah tetapi berubah menjadi laknat ketika syahwat kepentingan ikut campur.
Di tengah badai itu, satu posisi tetap tegak
Gus Yahya memilih menjaga NU agar berada pada rel negara, searah dengan Presiden sebagai pemegang mandat tertinggi.
NU tidak boleh dibajak nama ulama demi proyek pribadi.
Keputusan tentang ratusan triliun rupiah bukan hak segelintir orang ini hak seluruh warga NU, hak umat.
Pertarungan ini belum selesai.
Dan kelak sejarah akan mencatat dengan jernih, Siapa yang menjaga NU tetap berdiri tegak, dan siapa yang hampir menjualnya kepada kepentingan yang tidak pernah disyariatkan oleh sejarah.











