Maulid Nabi di Ponpes Amanatul Ummah Kyai Asep Serukan Akhiri Pertentangan Habaib – PWI, Islam Jalan Persatuan
Mojokerto, Moralita.com – Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar di Masjid Besar Ponpes Amanatul Ummah, Pacet, Kabupaten Mojokerto, Sabtu malam (20/9/), menghadirkan pesan mendalam yang melampaui dimensi ritual keagamaan.
Dalam kesempatan yang juga dihadiri Gubernur Khofifah dan Gus Bupati Mojokerto, pengasuh Ponpes Amanatul Ummah, KH. Asep Saifuddin Chalim, menegaskan pesan persatuan antara kalangan pecinta habaib dengan Perjuangan Wali Songo Indonesia (PWI).
Pernyataan Kyai Asep ini muncul di tengah meningkatnya narasi perpecahan di sejumlah ruang publik terkait relasi antara kelompok habaib dan berbagai organisasi keagamaan yang mengklaim sebagai pewaris perjuangan Wali Songo.
Ia menegaskan bahwa peringatan Maulid Nabi kali ini, dengan lantunan Salawat Burdah Habib Ahmad Alaydrus, harus dilihat sebagai simbol kebersamaan yang menegasikan narasi konflik.
“Peringatan malam ini adalah simbol persatuan tidak ada pertentangan antara habaib dengan PWI. Semua bersatu dalam kecintaan kepada Rasulullah SAW,” ujar Kyai Asep di hadapan ribuan jamaah.
Kyai Asep secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai bagian dari PWI. Hal itu, bukan hanya klaim simbolik, melainkan berbasis pada fakta genealogis. Kyai Asep masih memiliki garis keturunan dari Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh utama Wali Songo.
Pada saat yang sama, ia menegaskan dirinya juga merupakan pecinta habaib, yang selama ini dikenal sebagai representasi keturunan Rasulullah SAW dalam melanjutkan tradisi dakwah Islam di Nusantara.
“Saya ini orang PWI. Ada garis keturunan dari Sunan Gunung Jati, abah saya KH. Abduk Chalim pahlawan nasional, dan dalam waktu yang sama saya juga pecinta habaib. Perjuangan Wali Songo dan perjuangan habaib tidak bisa dipisahkan. Keduanya adalah rantai sejarah dakwah Islam yang sama-sama berperan dalam membangun peradaban bangsa,” tegasnya.
Pernyataan ini penting dibaca dalam kerangka akademis. Persatuan umat bukan sekadar wacana normatif, melainkan juga agenda strategis yang menentukan daya tahan bangsa terhadap fragmentasi sosial-politik.
Dalam konteks Indonesia, sejarah membuktikan bahwa sinergi antara ulama lokal (wali songo) dengan habaib menjadi fondasi kuat bagi penyebaran Islam yang damai, moderat, dan berakar pada budaya lokal.
Konteks pernyataan Kyai Asep tidak dapat dilepaskan dari situasi keumatan akhir-akhir ini. Beberapa narasi di media sosial maupun wacana publik kerap menempatkan habaib dan kelompok lain yang mengklaim diri dengan pendukung Wali Songo dalam posisi yang seolah dipertentangkan.
Narasi itu terkadang dipelihara oleh aktor-aktor tertentu untuk memperkuat basis dukungan identitas, dengan mengorbankan persatuan umat islam di Indonesia.
Dalam forum akademik, fenomena ini sering disebut sebagai fragmentasi otoritas keagamaan, yaitu kondisi ketika otoritas Islam tidak lagi dimaknai secara kolektif, tetapi dipersonalisasi ke dalam kelompok genealogis tertentu. Akibatnya, potensi konflik horizontal di tengah masyarakat menjadi terbuka lebar.
Pernyataan Kyai Asep pada peringatan Maulid Nabi di Ponpes Amanatul Ummah ini dapat dibaca sebagai intervensi moral sekaligus politik kultural untuk mengembalikan narasi kebersamaan.
Dengan menegaskan dirinya sebagai representasi dari dua mata rantai sejarah Islam di Indonesia wali songo dan habaib, Kyai Asep secara simbolik menyampaikan bahwa dikotomi itu tidak relevan dan justru melemahkan umat islam di Indonesia.
Lebih jauh, Kyai Asep juga menyinggung asal-usul keluarganya. Ia menyebut dirinya sebagai anak ke-15 dari 21 bersaudara, keturunan langsung KH. Abdul Chalim, seorang pahlawan nasional yang dikenal sebagai bagian dari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pergerakan Islam di masa perjuangan kemerdekaan.
Dengan narasi ini, Kyai Asep seakan meneguhkan legitimasi moral dan genealogisnya dalam menyerukan persatuan umat. Dalam analisis sosiologis, klaim genealogis ini bukan sekadar simbol personal, melainkan strategi rekonsiliasi identitas yang menjembatani dua kelompok: pewaris wali songo dan keturunan habaib.
Rangkaian peringatan Maulid Nabi SAW yang dihadiri ribuan santri, masyarakat dari berbagai daerah di Jatim, dan jamaah Habib Ahmad Alaydrus, menjadi arena rekonsiliasi simbolik.
Pembacaan Salawat Burdah menghadirkan kesakralan bersama, yang melampaui batas-batas organisasi maupun garis keturunan. Pesan Habib Ahmad yang menekankan pentingnya meneladani akhlak Rasulullah, memperkuat dimensi substantif dari persatuan itu sendiri, bahwa Umat Islam berada di gerbong besar yang dinahkodai Nabi Besar Muhammad SAW.
Dengan demikian, Maulid Nabi di Ponpes Amanatul Ummah tahun ini bukan sekadar ritual religius, tetapi juga manifesto kebudayaan yang menolak fragmentasi umat.
Pesan yang mengemuka dari Pacet Mojokerto jelas persatuan antara pecinta habaib dan pendukung PWI adalah keniscayaan historis sekaligus kebutuhan kontemporer. Narasi pertentangan yang akhir-akhir ini dimunculkan hanyalah ilusi yang mengancam kohesi sosial umat Islam di Indonesia.
Dengan menegaskan dirinya sebagai bagian dari kedua arus besar sejarah Islam Nusantara, KH. Asep Saifuddin Chalim telah mengirimkan pesan besar yakni Islam adalah jalan persatuan, bukan perpecahan.






