MK Era Prabowo Mendadak Progresif, atau Efek Setelah Bos Lama Pergi?
Moralita.com – Ada sesuatu yang janggal, sekaligus lucu, sekaligus menyentuh wilayah absurd, dalam gelombang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa bulan terakhir.
Seolah-olah Mahkamah yang selama bertahun-tahun tidur siang panjang tiba-tiba disiram air es, bangun, dan belingsatan memutus perkara dengan kecepatan turbo.
Dan anehnya, kebangkitan moral MK ini terjadi persis setelah Jokowi turun, dan Prabowo naik, mendadak MK gagah.
Ketika Jokowi Berkuasa, MK Seperti Tukang Parkir Mall: “Tidak Bisa, Mas… Sudah Aturan.”
Selama satu dekade era Jokowi, gugatan presidential threshold 20 persen datang bertubi-tubi.
Aktivis datang, akademisi datang, masyarakat sipil datang semua minta syarat 20 persen dibongkar.
Jawaban MK seperti apa?
“Tidak ada masalah konstitusional.”
“Pemohon tidak memiliki legal standing.”
“Ini kebijakan hukum terbuka.”
Alias Tutup mata, tutup telinga, tutup pintu rapat-rapat.
Tetapi ketika Prabowo baru duduk di kursi kepresidenan, gugatan yang sama langsung dibacakan dan ikabulkan seluruhnya.
Seolah MK bilang “Maaf kemarin kami lagi nggak enak badan.”
Rakyat bingung, akademisi bingung, pengamat politik senyum-senyum:
kok tumben?
Yang Lebih Absurd periode kemarin banyak Putusan MK Justru Menguntungkan Anak Jokowi
MK pada 2023 mengabulkan syarat usia Gibran dalam waktu cepat sekali hingga membuat banyak ahli hukum geleng-geleng kepala sambil bergumam, Ah masa sih?
Lalu sekarang, di era Prabowo, MK menghapus presidential threshold, putusan yang lagi-lagi membuka jalan lebar bagi Gibran untuk maju Pilpres tanpa beban ambang batas dukungan.
Di era Jokowi, MK tampak seperti benteng kokoh yang menahan segala perubahan.
Namun di balik itu, beberapa putusan yang ujuk-ujuk keluar, justru menguntungkan Gibran menyelamatkan posisi politik keluarga Jokowi dan menciptakan jalur tol elektoral.
Era Prabowo MK Mendadak Power Ranger
Selain threshold, MK kini lebih berani dari Kapolri merombak institusi kepolisian.
Bayangkan lebih dari 4.000 anggota Polri yang selama bertahun-tahun nyaman duduk di kursi empuk kementerian, lembaga, hingga posisi strategis birokrasi tiba-tiba disuruh pulang ke barak.
Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk Prabowo saja mungkin belum sempat mikir sampai sejauh itu.
Tapi MK menghantamnya duluan.
Ini langkah minyak panas disiram ke sarang lebah!
Kenapa MK Baru Berani Setelah Jokowi Pergi?
Silakan pilih hipotesis berikut:
1. Apakah karena tekanan politik berkurang.
MK tidak lagi berada dalam orbit kekuasaan yang sama.
2. Apakah karena Prabowo tidak mengintervensi.
Sehingga MK merasa bebas menunjukkan taringnya.
3. Apakah karena MK sedang menebus dosa masa lalu.
Terutama setelah reputasi lembaga ini ambruk akibat putusan syarat usia Gibran.
4. Apa karena MK ingin menunjukkan diri sebagai lembaga independen setelah bertahun-tahun tidak independen.
Semua uraian prediksi analisis mungkin benar, mungkin salah, mungkin separuh benar.
Namun satu yang pasti tidak mungkin MK tiba-tiba menjadi revolusioner tanpa perubahan angin politik di istana.
Masalahnya Putusan-Progresif-Instan Ini Mengacak-acak Sistem
MK seolah lupa bahwa setiap putusan mereka langsung mengikat, tidak bisa dinegosiasi, tidak bisa ditunda.
Hasilnya sistem Pemilu harus direvisi besar-besaran, pemerintah dan DPR panik menyesuaikan aturan baru, ribuan jabatan harus diganti karena Polri tidak boleh duduk di posisi sipil, birokrasi terancam chaos.
Sementara MK cuci tangan sambil seolah berkata “Kami hanya menjalankan konstitusi.”
Inilah kenyataan pahit independensi MK bukan sekadar soal hukum. Itu juga soal siapa yang berkuasa, siapa yang mempengaruhi, dan siapa yang lebih ditakuti.
Ketika Jokowi berkuasa, MK kaku.
Ketika Prabowo berkuasa, MK over power progresif.
Yang jelas, MK sedang mengirim pesan bahwa Dia bukan lagi MK yang kemarin. MK yang sekarang ini benar-benar independen atau justru sedang mencari tuan baru?











