Kamis, 2 Okt 2025
light_mode
Beranda » News » Pengasuh Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo Buka Suara Jelaskan Kronologi Ambruk

Pengasuh Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo Buka Suara Jelaskan Kronologi Ambruk

Oleh Tim Redaksi Moralita — Senin, 29 September 2025 19:13 WIB

Sidoarjo, Moralita.com – Runtuhnya bangunan tiga lantai di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, pada Senin (29/9) sore masih menyisakan duka mendalam.

Puluhan santri yang tengah melaksanakan salat Asar di lantai dasar musala tertimpa reruntuhan beton. Di tengah hiruk-pikuk evakuasi, pengasuh ponpes, KH Abdul Salam Mujib, akhirnya angkat bicara.

Gedung yang roboh itu sejatinya sudah melalui proses pembangunan sejak sembilan hingga sepuluh bulan lalu. Rencananya, lantai dasar akan digunakan sebagai musala, sementara lantai di atasnya diproyeksikan menjadi hall serbaguna untuk berbagai kegiatan santri.

“Dibangun sudah lama, sudah sembilan bulan. Kurang lebih sembilan hingga sepuluh bulanan,” kata KH Abdul Salam kepada awak media, Senin petang.

Selama hampir satu tahun pembangunan, baru lantai dasar gedung tersebut yang difungsikan sebagai musala. Lantai-lantai di atasnya masih kosong, nyaris tanpa aktivitas.

“Iya, betul. Bawah dipakai salat. Dan semuanya masih kosong,” ujar KH Abdul Salam.

Namun, justru di ruangan itulah tragedi bermula. Ratusan santri yang biasa menunaikan salat berjemaah mendadak harus menghadapi kenyataan pahit, ruang ibadah mereka ambruk bersamaan dengan doa salat yang belum rampung.

Baca Juga :  Wabup Sidoarjo Mimik Idayana Sebut Mutasi ASN Langgar Mekanisme, Ancam Lapor Kemendagri

Menurut penuturan KH Abdul Salam, pada hari kejadian, bangunan masih dalam tahap pengecoran lantai roof deck yang direncanakan sebagai atap. Proses pengecoran itu dilakukan sejak pagi hingga siang sekitar pukul 12.00 WIB.

“Baru tiga lantai. Ya ada itu terakhir, deck terakhir (pengecoran),” jelasnya.

“Saya kira ngecor-nya mungkin hanya empat-lima jam selesai. Mungkin jam 12.00 sudah selesai,” tambahnya.

Artinya, hanya berselang beberapa jam setelah cor-coran rampung, bangunan sudah tak kuasa menahan beban. Ini menimbulkan pertanyaan besar seberapa kuat sebenarnya konstruksi yang digunakan? Apakah kualitas bahan bangunan sesuai standar? Ataukah ada kelalaian teknis yang luput dari pengawasan?

KH Abdul Salam mengaku belum bisa memastikan berapa jumlah santri yang berada di musala saat insiden terjadi. Menurutnya, semua tingkatan kelas biasanya melaksanakan salat Asar berjemaah, tetapi sebagian santri juga sedang beristirahat atau beraktivitas di luar musala.

Baca Juga :  Oknum Polisi Diduga Lakukan Pemerasan terhadap Mahasiswi di Sidoarjo, Citra Polri Tercoreng Jelang Hari Bhayangkara

“Ya, semestinya semua (kelas). Cuma kan waktu Salat Asar itu banyak yang istirahat. Banyak yang masih kegiatan di luar musala,” katanya.

Data resmi dari BPBD maupun rumah sakit masih berubah-ubah dinamis terus bertambah seiring proses evakuasi yang berjalan hingga malam.

Demi keselamatan, pihak ponpes memutuskan menghentikan sementara semua kegiatan. Suasana pondok yang biasanya riuh dengan bacaan santri kini berganti jadi hening, hanya sesekali pecah oleh tangis keluarga yang menunggu kabar.

KH Abdul Salam juga menyampaikan bela sungkawa kepada para wali santri yang putra-putrinya menjadi korban. Dengan nada religius yang penuh pasrah, ia menegaskan bahwa peristiwa ini harus diterima sebagai takdir.

“Saya kira memang ini takdir dari Allah. Jadi semuanya harus bisa bersabar dan mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik. Diberi pahala yang sangat-sangat, apa yang enggak bisa mengutarakan, mudah-mudahan dibalas dengan balasan kebaikan oleh Allah,” tuturnya.

Ucapan KH Abdul Salam mencerminkan sikap pasrah seorang kiai yang terbiasa mengajarkan kesabaran kepada santri. Namun, di luar narasi takdir, publik mulai mempertanyakan aspek spesifikasi teknis pembangunan.

Baca Juga :  PGN Siap Dukung Energi Bersih di Desa Tropodo, Sidoarjo Gantikan Bahan Bakar Limbah Plastik

Fakta bahwa gedung belum rampung tapi sudah difungsikan, serta adanya pengecoran yang dilakukan hanya beberapa jam sebelum ambruk, membuka ruang diskusi tentang pengawasan konstruksi dan kepatuhan regulasi.

Dalam konteks akademis, tragedi ini bukan sekadar bencana kebetulan, melainkan juga pelajaran pahit tentang tata kelola pembangunan fasilitas di lingkungan pendidikan dan keagamaan. Bahwa setiap cor semen bukan hanya soal bata dan pasir, melainkan juga soal nyawa ratusan anak generasi bangsa yang sedang menuntut ilmu.

  • Penulis: Tim Redaksi Moralita

Tulis Komentar Anda (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

expand_less