Breaking News
light_mode
Home » Daerah » Potensi Jebakan Batman TAPD untuk Gus Bupati Mojokerto dalam 360 Kegiatan Narsum Wasbang DPRD Berbayar Telan Rp5,4 M

Potensi Jebakan Batman TAPD untuk Gus Bupati Mojokerto dalam 360 Kegiatan Narsum Wasbang DPRD Berbayar Telan Rp5,4 M

Oleh Alief — Minggu, 19 Oktober 2025 15:21 WIB

Mojokerto, Moralita.com – Fenomena masifnya pelaksanaan kegiatan narasumber Wawasan Kebangsaan (Wasbang) yang diselenggarakan oleh tiap Kecamatan dengan menghadirkan anggota DPRD Kabupaten Mojokerto sebagai pemateri berbayar hingga jutaan rupiah per jam, terus menuai tekanan kritik.

Kegiatan yang secara administratif tampak sah ini ternyata menyimpan anomali serius dalam penataan kewenangan dan etika pengelolaan keuangan daerah.

Berdasarkan data yang dihimpun, terdapat 360 kali kegiatan Narasumber Wasbang yang seluruh pembiayaannya bersumber dari P-APBD Kabupaten Mojokerto Tahun Anggaran 2025.

Nilai anggarannya fantastis total Rp 5,4 miliar, dengan rincian 18 Kecamatan masing-masing menerima Rp 300 juta untuk 20 kali kegiatan senilai Rp 15 juta per paket.

Ketua Ormas Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) yang serius mengamati kebijakan daerah, Wiwit Hariyono, menilai praktik tersebut merupakan bentuk penyimpangan kewenangan sekaligus potensi pelanggaran etik keuangan negara.

“Kegiatan seperti ini jelas menyalahi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Urusan wawasan kebangsaan itu masuk dalam domain Bakesbangpol bukan kecamatan,” tegasnya, Minggu (19/10).

Arahan TAPD Dianggap Sebagai Biang Kebijakan Salah Kaprah

Informasi di lapangan mengungkap bahwa inisiatif kegiatan Wasbang di kecamatan bukan muncul dari bawah, melainkan dari arahan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dikomandoi Sekretaris Daerah Kabupaten Mojokerto, Teguh Gunarko.

TAPD disebut memberikan pertimbangan teknis dan menyetujui struktur anggaran kegiatan tersebut dalam Perubahan APBD (P-APBD) 2025.

Menurut Wiwit, kesalahan ini bukan semata kelalaian administratif camat, melainkan akibat langsung dari desain kebijakan teknokratis yang disetujui dan diarahkan oleh TAPD.

“Kalau dilihat jejaknya, TAPD seolah menjadi ‘aktor intelektual’ yang menyiapkan semua rumus kegiatan, ini bukan kesalahan kecamatan, tapi akibat dari perencanaan lintas urusan ngawur yang disahkan secara struktural,” ungkapnya.

Wiwit mengatajan menurut Permendagri Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah dan Permendagri Nomor 90 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Nomenklatur Urusan Pemerintahan, urusan ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan secara eksplisit menjadi tanggung jawab Bakesbangpol, bukan dilemparkan seenaknya pada kecamatan.

Baca Juga :  Staf Khusus Mendes PDT Gus Afif : PKD Kabupaten Mojokerto Jadi Garda Depan Kawal Program Desa

Kecamatan hanya memiliki fungsi koordinatif wilayah, bukan pengguna anggaran serta pelaksana urusan substantif seperti ideologi atau pembinaan kebangsaan.

Dengan demikian, kata Wiwit, arahan TAPD tersebut telah menciptakan misallocation of authority, yaitu kesalahan alokasi urusan pemerintahan yang melanggar asas legalitas dan otonomi daerah.

“Disini potensi memanipulasi efisiensi anggaran DPRD, seolah efisien karena anggaran honor dibeba kan kepada Kecamatan jadi tak terdeteksi sistem fiskal Pemerintah pusat, cukup licin juga dewan ini,” lontarnya.

Jebakan Batman Administratif, Bupati Bisa Jadi Korban Arahan Ngawur TAPD

Secara hukum administrasi, TAPD berfungsi membantu kepala daerah menyusun APBD, bukan mengalihkan urusan antar-perangkat daerah.

Ketika TAPD memberi instruksi agar kecamatan melaksanakan kegiatan Wasbang, lembaga ini telah melampaui mandat fungsionalnya.

Tindakan itu bisa dikategorikan sebagai ‘maladministrasi kebijakan’ keputusan yang melanggar asas kewenangan dan proporsionalitas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Ironisnya, setiap rekomendasi TAPD pada akhirnya disahkan oleh Bupati melalui mekanisme Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).

“Ini yang disebut jebakan Batman birokrasi. TAPD memberi rekomendasi yang tampak aman secara politik, tapi secara hukum justru menempatkan Bupati sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kegiatan rawan temuan ini, hati-hati Gus,” lontar Wiwit.

Jika kemudian BPK atau Aparat Penegak Hukum (APH) menemukan pelanggaran penggunaan anggaran, maka Bupati akan menjadi pihak pertama yang diperiksa dam bertanggung jawab, meskipun kesalahan awalnya berasal dari desain TAPD.

DPRD Kabupaten Mojokerto Dianggap “Overconfident” Raup Honor Puluhan Juta

Wiwit juga mengungkap fakta mengejutkan dari hasil investigasi lapangan. Pimpinan DPRD Kabupaten Mojokerto mendapat jatah hingga 8 jam per minggu untuk tampil sebagai narasumber kegiatan Wasbang, sementara anggota DPRD memperoleh 6 jam per minggu, bahkan pembagiannya tidak merata kepada anggota.

Baca Juga :  Satlantas Polres Mojokerto Tangkap Sopir Truk Tabrak Lari Karyawati yang Tewas di Ngoro, Korban Sebatang Kara

“Jika honorarium untuk pimpinan DPRD sebesar Rp 1,4 juta per jam, maka dalam satu minggu mereka bisa mengantongi Rp 11 juta. Dalam sebulan, nilainya bisa mencapai Rp 40 jutaan hanya dari honor narasumber, belum termasuk gaji dan tunjangan tetap DPRD yang juga sekitar Rp 40 jutaan per bulan,” ungkap Wiwit.

Dari politisasi anggaran P-APBD 2025 Kabupaten Mojokerto, DPRD mendapatkan take home pay Rp 80 juta.

“Sungguh mencengangkan ditengah kondisi masyarakat saat ini yang survive secara ekonomi,” ujarnya.

Ia membandingkan situasi ini dengan DPRD Kota Mojokerto yang disebut lebih berhati-hati.

“DPRD Kota Mojokerto yang letaknya berdampingan saja tidak berani melaksanakan kegiatan seperti ini, karena mereka paham betul risikonya bisa menjadi temuan BPK atau bahkan perkara APH. Tapi DPRD Kabupaten Mojokerto justru sangat PD, seolah tak peduli dengan etika publik,” sindirnya.

Menurutnya, praktik seperti ini mencederai rasa keadilan publik ditengah masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi, perilaku DPRD yang masih mencari tambahan honor jutaan rupiah per jam adalah ironi moral.

Masyarakat harus lebih kritis. Pemerintahan yang sehat tidak boleh dijalankan dengan logika transaksional.

Inspektorat Sudah Beri Early Warning: “Secara Aturan Tidak Ada yang Dilanggar, Tapi…”

Sementara itu, Inspektur Kabupaten Mojokerto, Zaqqi, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah memberikan early warning kepada kecamatan mengenai potensi kerawanan kegiatan tersebut.

Menurutnya, secara spesifik tidak ada regulasi yang secara langsung dilanggar, namun secara etik dan tata kelola perlu kehati-hatian.

“Inspektorat sudah memberikan imbauan agar kegiatan semacam ini dikaji ulang dari sisi efektivitas dan kepatutan,” ungkap Zaqqi.

Ia menegaskan untuk besaran honorarium, Inspektorat juga telah mengingatkan agar tetap mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan.

Baca Juga :  Penyidikan Korupsi Dana Hibah KONI Kabupaten Mojokerto 2022-2023, Kasi Pidsus Pastikan Perkara Masuk Persidangan, Tersangka Tinggal Tunggu Waktu

Ia menambahkan bahwa langkah pengawasan lebih lanjut tetap terbuka apabila ditemukan indikasi tumpang tindih kewenangan atau penggunaan anggaran yang tidak proporsional.

“Secara formal kami tidak bisa langsung menyebut pelanggaran, tetapi warning kami sudah disampaikan jauh hari, karena kegiatan seperti ini memiliki potensi audit yang tinggi,” ujar Zaqqi.

Wiwit mendesak agar Inspektorat Daerah melakukan audit investigatif terhadap TAPD, sekaligus meminta Bupati mengeluarkan nota dinas khusus yang menegaskan bahwa kegiatan ideologis seperti Wasbang harus dikembalikan ke domain Bakesbangpol.

Selain itu, ia juga merekomendasikan agar seluruh rapat TAPD ke depan disertai notulensi terbuka yang mencatat siapa pengusul dan penyetuju setiap kebijakan.

“Ini untuk menghindari jebakan batman administratif yang bisa menjerat Bupati, sementara TAPD bersembunyi di balik kata ‘arahan’,” pungkas Wiwit.

Fenomena pelaksanaan kegiatan Wasbang di kecamatan dengan pola penganggaran yang diarahkan TAPD dan melibatkan DPRD sebagai narasumber berbayar telah membuka ruang diskusi besar soal integritas birokrasi dan etika keuangan publik di Kabupaten Mojokerto.

Wiwit demgan tegas mengatakan bahwa legal secara prosedur belum tentu benar secara Substansi, karena hal ini akan memantik BPK dan APH untuk melakukan penyelidikan karena dari awalnya sudah memanipulasi tak sesuai Tupoksi.

“Kalau sistem ini terus dibiarkan, maka tata kelola fiskal daerah bisa berubah menjadi jebakan kebijakan, di mana Bupati yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban dari lihainya permainan administratif TAPD yang terselubung,” tandasnya.

 

 

  • Author: Alief

Tulis Komentar Anda (0)

At the moment there is no comment

Please write your comment

Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) are required

expand_less