SLIK OJK Dituding Jadi Penghambat Akses KPR Subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Menengah Kebawah
Oleh Tim Redaksi Moralita — Sabtu, 21 Juni 2025 18:03 WIB; ?>

Foto rumah subsidi sesuai dengan usulan aturan baru rumah subsidi diperkecil dari Kementerian PKP.
Jakarta, Moralita.com – Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini menjadi sorotan tajam kalangan pengembang perumahan rakyat.
Pasalnya, sekitar 70 persen calon debitur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diklaim gagal lolos seleksi akibat catatan negatif dalam sistem tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdillah, menyebutkan bahwa hambatan administratif dalam sistem SLIK menjadi salah satu faktor dominan yang menghambat realisasi KPR bersubsidi. Pernyataan ini terungkap dalam, Jumat (20/6).
“Rata-rata 70 persen calon debitur KPR MBR terhalang oleh SLIK. Hanya 30 persen yang bisa diloloskan setelah terlebih dahulu kami seleksi ketat,” ujar Junaidi.
Manipulasi Data Penolakan Kredit?
Junaidi juga menyinggung bahwa proses seleksi awal oleh pengembang menyebabkan data penolakan di sektor perbankan terlihat rendah secara artificial. Hal ini menciptakan persepsi keliru terhadap realisasi kredit, karena banyak calon debitur sebenarnya sudah ‘gugur’ sebelum masuk proses pengajuan ke bank.
“Makanya terlihat seolah-olah Repayment Capacity (RPC)-nya bagus di bank. Padahal yang masuk ke bank itu sudah terseleksi. Banyak yang ditolak dari awal karena tersandung SLIK,” tambahnya.
RPC sendiri merupakan indikator kemampuan calon debitur dalam membayar cicilan. Namun, menurut Junaidi, istilah ini sering digunakan sebagai dalih ‘penolakan halus’ oleh perbankan, sementara alasan sebenarnya adalah riwayat kredit bermasalah yang tercatat di SLIK OJK.
Korban Pinjol Terjebak SLIK, Akses KPR Tertutup
Sekretaris Jenderal Apersi, Daniel Djumali, juga menyoroti masalah SLIK, khususnya bagi masyarakat yang menjadi korban pinjaman online (pinjol) dalam jumlah kecil. Menurutnya, perlu ada intervensi negara untuk menyelamatkan akses rumah pertama bagi kelompok ini.
“Kami sudah berulang kali meminta ke Menteri PUPR Pak Ara (Maruarar Sirait) agar ada relaksasi dari OJK. Banyak MBR gagal akses rumah hanya karena tercatat punya tunggakan kecil dari pinjol. Padahal nominalnya tidak signifikan,” ungkap Daniel.
Daniel menekankan pentingnya kebijakan afirmatif dari pemerintah dan regulator agar tidak mengorbankan hak masyarakat dalam memperoleh hunian layak hanya karena kesalahan administratif atau cicilan mikro yang belum terbayar.
Di tengah kebuntuan ini, Apersi menilai skema Rent-to-Own (RTO) atau skema sewa-beli menjadi opsi alternatif yang realistis. Skema ini memungkinkan masyarakat menyewa rumah terlebih dahulu sebelum resmi memilikinya dalam jangka panjang.
“Sampai sekarang, solusi paling rasional adalah Rent-to-Own. Karena dalam sistem SLIK seperti sekarang, perbankan sulit membuka ruang bagi calon debitur MBR,” tegas Junaidi.
Kritik terhadap ketatnya sistem SLIK OJK menggugah pertanyaan tentang proporsionalitas dan keadilan dalam penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking). Di satu sisi, perbankan memang harus melindungi stabilitas sistem keuangan. Namun di sisi lain, sistem yang terlalu rigid tanpa toleransi terhadap konteks sosial-ekonomi debitur justru berpotensi memperparah ketimpangan akses perumahan.
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Dalam konteks ini, regulasi keuangan seharusnya tidak menjadi tembok penghalang atas hak dasar tersebut, terutama bagi kelompok rentan secara ekonomi.
Apersi mendorong agar OJK melakukan evaluasi kebijakan dan membuka ruang diskusi yang lebih progresif. Penerapan credit scoring berbasis kriteria sosial-ekonomi dan pemberian toleransi terhadap debitur mikro menjadi salah satu usulan utama untuk memperbaiki sistem yang kini dianggap diskriminatif.
“Jika ini tidak segera ditangani, backlog perumahan akan terus meningkat dan program sejuta rumah hanya menjadi jargon,” pungkas Daniel.
Dalam situasi seperti ini, sinergi antara pemerintah, regulator, dan pelaku usaha sangat dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem perumahan yang inklusif dan responsif terhadap dinamika ekonomi masyarakat bawah.
Artikel terkait:
- Bank Syariah Matahari Milik Muhammadiyah Resmi Beroperasi, Fokus Perkuat Ekonomi Umat Lewat Prinsip Syariah
- Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I-2025 Positif, Namun Masih di Bawah Target Tahunan
- Kementerian PKP Siapkan 20.000 Rumah Subsidi untuk Petani, BNI Jadi Mitra Pembiayaan
- KPK Tetapkan Dua Legislator sebagai Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Dana CSR Bank Indonesia
- Penulis: Tim Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar