DPR Kritik Polemik Data Pertumbuhan Ekonomi: BPS Diminta Transparan Soal Anggaran dan Metodologi
Oleh Redaksi Moralita — Rabu, 27 Agustus 2025 13:39 WIB; ?>

Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti.
Jakarta, Moralita.com – Polemik data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,12% year-on-year (yoy) menjadi sorotan serius dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi X DPR RI dengan Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, di Gedung DPR, Selasa malam (26/8).
Sejumlah anggota dewan mempertanyakan keakuratan data tersebut karena dianggap tidak sejalan dengan kondisi ekonomi yang dirasakan masyarakat. Bahkan, muncul tuduhan bahwa data Produk Domestik Bruto (PDB) itu telah diutak-atik, sebagaimana diberitakan salah satu media nasional.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Gerindra, La Tinro La Tunrung, menyatakan keprihatinannya atas keraguan publik terhadap kredibilitas data BPS. Ia menilai, angka pertumbuhan 5,12% tidak mencerminkan kenyataan di lapangan dan berbeda jauh dari proyeksi para ekonom.
“Kalau hanya menyajikan data yang salah, tidak ada gunanya. Saya tidak tertarik membicarakan tambahan anggaran bila masalah keakuratan data ini belum jelas,” ujar La Tinro.
Ia juga menyoroti besarnya anggaran survei yang digunakan BPS. Dari total Rp 6 triliun, kini diajukan tambahan Rp 1 triliun, sehingga menjadi Rp 7 triliun. Menurutnya, kesalahan data bisa berdampak fatal, bahkan menyesatkan pemerintah dalam mengambil kebijakan.
Senada, anggota Fraksi Golkar Juliyatmono meminta penjelasan metodologi BPS.
“Kenyataannya masyarakat merasa kesulitan, tapi PDB justru tumbuh. Perlu dijelaskan posisi pertumbuhan itu, apa yang paling sentral,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Fraksi PDI Perjuangan Bonnie Triyana menyinggung tudingan media bahwa BPS telah memanipulasi angka pertumbuhan. Ia meminta Kepala BPS memberikan klarifikasi rinci mengenai metodologi dan perbedaan mencolok dengan konsensus para ekonom.
Menanggapi kritik tersebut, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan bahwa data yang dirilis BPS bukan proyeksi, melainkan hasil pengukuran langsung berbasis survei dan data administratif.
“Kami mengukur dengan 1.058 variabel, baik nasional maupun daerah. Semua data harus konsisten antara agregasi provinsi dan nasional, dan diselesaikan dalam waktu 35 hari kerja,” jelas Amalia.
Ia menambahkan, metodologi BPS mengacu pada standar internasional, yakni System of National Accounts (SNA) dari PBB, serta diawasi oleh berbagai lembaga global.
Amalia juga menyebut BPS dipercaya sebagai tuan rumah UN Regional Hub on Big Data and Data Science for Asia and the Pacific, sehingga kredibilitas lembaga statistik Indonesia diakui dunia.
Dalam kesempatan yang sama, Amalia mengajukan tambahan anggaran Rp 1,65 triliun untuk 2026, di luar pagu awal Rp 6,85 triliun. Dengan demikian, total kebutuhan BPS mencapai sekitar Rp 8,5 triliun.
Tambahan anggaran itu diperlukan untuk mendukung pelaksanaan Sensus Ekonomi 2026, serta sejumlah survei strategis seperti statistik e-commerce, perdagangan domestik, pertanian terintegrasi, konversi gabah ke beras, survei perilaku anti korupsi, dan survei harga perdagangan internasional.
Amalia menekankan, beberapa kegiatan statistik bersifat wajib sesuai amanat undang-undang, sehingga harus tetap berjalan meski anggaran terbatas.
Dalam kesimpulan rapat, Komisi X DPR menyatakan masih memerlukan pendalaman terhadap usulan tambahan anggaran BPS. Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PKB, Lalu Hadrian Irfani, menegaskan perlunya penjelasan lebih detail sebelum persetujuan diberikan.
“Komisi X DPR dan BPS sepakat akan melakukan konsinyasi RKA K/L Tahun 2026 dalam waktu dekat. Data statistik harus representatif, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Lalu.
DPR juga meminta BPS memastikan pelaksanaan Sensus Ekonomi 2026 berjalan lancar, serta meningkatkan kolaborasi dengan pemangku kepentingan untuk menjaga akurasi data.
Polemik ini menegaskan pentingnya kredibilitas data statistik nasional. Sebagai rujukan utama dalam perumusan kebijakan, data PDB harus dipastikan objektif, transparan, dan bebas dari intervensi. Kegagalan menjaga kepercayaan publik tidak hanya berimplikasi pada legitimasi BPS, tetapi juga pada kualitas kebijakan ekonomi pemerintah.
- Penulis: Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar