Puluhan Ribu Buruh Gelar Aksi Nasional 28 Agustus: Tuntut Upah Layak, Hapus Outsourcing, dan Reformasi Pajak
Oleh Redaksi Moralita — Rabu, 27 Agustus 2025 11:13 WIB; ?>

Puluhan ribu buruh dari berbagai wilayah di Indonesia akan menggelar aksi serentak pada Kamis, 28 Agustus 2025.
Jakarta, Moralita.com – Puluhan ribu buruh dari berbagai wilayah di Indonesia akan menggelar aksi serentak pada Kamis, 28 Agustus 2025. Gerakan nasional ini diprakarsai Partai Buruh bersama Koalisi Serikat Pekerja, termasuk Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menjelaskan bahwa aksi akan dipusatkan di depan Gedung DPR RI dan Istana Kepresidenan, Jakarta. Tidak kurang dari 10 ribu buruh dari kawasan industri di Karawang, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, dan DKI Jakarta diperkirakan akan bergerak menuju ibu kota.
Selain di Jakarta, aksi serupa juga akan digelar secara serentak di berbagai daerah industri strategis, antara lain:
- Serang (Banten)
- Bandung (Jawa Barat)
- Semarang (Jawa Tengah)
- Surabaya (Jawa Timur)
- Medan (Sumatera Utara)
- Banda Aceh (Aceh)
- Batam (Kepulauan Riau)
- Bandar Lampung (Lampung)
- Banjarmasin (Kalimantan Selatan)
- Pontianak (Kalimantan Barat)
- Samarinda (Kalimantan Timur)
- Makassar (Sulawesi Selatan)
- Gorontalo, serta kota industri lainnya.
Aksi yang dinamai HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah) ini, menurut Said Iqbal, akan berlangsung secara damai.
Tiga Tuntutan Utama Buruh
1. Tolak Upah Murah
Buruh menuntut kenaikan upah minimum nasional 2026 sebesar 8,5–10,5%. Perhitungan tersebut didasarkan pada formula resmi sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2024, yang memperhitungkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, serta indeks tertentu.
Data memperlihatkan, inflasi Oktober 2024–September 2025 diproyeksikan 3,26% dan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,1–5,2%. Dengan demikian, menurut buruh, kenaikan upah yang wajar berada pada rentang 8,5–10,5%.
“Pemerintah mengklaim angka pengangguran dan kemiskinan menurun. Jika benar, maka seharusnya ada keberanian menaikkan upah minimum agar daya beli masyarakat meningkat dan turut memperkuat pertumbuhan ekonomi,” ujar Said Iqbal.
2. Hapus Outsourcing
Buruh menuntut penghapusan praktik outsourcing yang dinilai semakin meluas, termasuk di perusahaan pelat merah. Putusan MK sebelumnya telah menegaskan bahwa outsourcing hanya boleh diterapkan untuk pekerjaan penunjang, bukan pekerjaan inti.
“Outsourcing hanya untuk pekerjaan non-inti, misalnya keamanan atau kebersihan. Karena itu, kami mendesak pemerintah mencabut PP Nomor 35 Tahun 2021 yang justru melegalkan outsourcing secara luas,” tegas Said Iqbal.
3. Reformasi Pajak Perburuhan
Selain isu upah dan outsourcing, para buruh juga menyoroti kebijakan perpajakan yang dinilai kian membebani masyarakat. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah, seperti di Pati dan Cirebon yang melonjak hingga 1.000 persen, telah memicu protes keras.
Menurut Said Iqbal, buruh menuntut beberapa poin reformasi pajak:
- Kenaikan PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) dari Rp4,5 juta menjadi Rp7,5 juta per bulan.
- Penghapusan pajak atas Tunjangan Hari Raya (THR) dan pesangon.
- Pajak diarahkan lebih adil, tidak menekan buruh dan masyarakat kecil, melainkan memperkuat daya beli dan konsumsi domestik.
“Jika pajak THR dan pesangon dihapus, uang itu tidak hilang dari perputaran ekonomi. Justru akan kembali ke pasar melalui konsumsi, dan pada akhirnya tetap menghasilkan penerimaan negara melalui PPN,” jelas Said Iqbal.
Isu lain yang menjadi sorotan utama adalah percepatan pembahasan Undang-Undang Ketenagakerjaan baru. Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2024 mewajibkan agar dalam dua tahun pemerintah dan DPR melahirkan UU baru sebagai pengganti aturan turunan Omnibus Law Cipta Kerja.
Namun hingga kini, meski Panitia Kerja (Panja) di DPR telah terbentuk, pembahasan masih jalan di tempat.
“Buruh mendesak DPR dan pemerintah segera mengesahkan RUU Ketenagakerjaan yang baru. Jika tidak, maka pemerintah berpotensi mencederai keadilan hukum dan mengkhianati jutaan pekerja,” kata Said Iqbal.
Tujuh isu utama yang menjadi dasar perjuangan buruh dalam UU baru tersebut antara lain:
- Upah layak yang benar-benar melindungi pekerja.
- Penghapusan sistem outsourcing yang merajalela.
- Pembatasan karyawan kontrak agar tidak selamanya berada dalam ketidakpastian.
- Mekanisme PHK yang adil.
- Pesangon yang layak, bukan sekadar 0,5 kali ketentuan seperti dalam PP 35/2021.
- Pembatasan tenaga kerja asing, khususnya melarang pekerja tidak terampil (unskilled workers).
- Hak cuti melahirkan, cuti hamil, serta cuti panjang (2 bulan setiap 6 tahun kerja).
Selain itu, buruh juga menuntut perlindungan untuk pekerja digital platform (ojol, e-commerce), pekerja medis, transportasi, dosen, guru, jurnalis, hingga pekerja media yang rentan PHK sepihak.
Selain tiga tuntutan utama dan desakan UU Ketenagakerjaan baru, buruh juga akan menyuarakan isu-isu lain, antara lain:
- Pembentukan Satgas PHK untuk melindungi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.
- Pengesahan RUU Perampasan Aset sebagai langkah tegas pemberantasan korupsi.
- Revisi RUU Pemilu untuk mendesain ulang sistem Pemilu 2029 agar lebih demokratis dan berkeadilan.
Di akhir pernyataannya, Said Iqbal menegaskan bahwa buruh menaruh harapan besar kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat lahirnya regulasi yang berpihak pada rakyat kecil.
“Kami percaya Presiden Prabowo, yang dikenal peduli pada petani, nelayan, guru, dan buruh, dapat mendorong percepatan pembahasan serta pengesahan UU Ketenagakerjaan baru. Undang-undang ini bukan sekadar payung hukum, melainkan benteng perlindungan bagi pekerja di seluruh sektor,” pungkasnya.
- Penulis: Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar