BI dan KDEKS Jawa Barat Studi Tiru Ekonomi Syariah Mandiri ke Ponpes Amanatul Ummah Mojokerto
Mojokerto, Moralita.com – Di tengah hawa sejuk Pacet yang menstimulus keinginan untuk belajar, Pejabat Ekonom BI, Pegiat Ekonomi syariah dan 20 pimpinan unit usaha pesantren dari 10 kabupaten/kota se-Jawa Barat berkumpul di Istana Afia Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Pacet – Mojokerto, Selasa (28/10/2025).
Mereka datang bukan untuk sekadar silaturahmi atau menimba berkah doa, melainkan mengikuti agenda strategis bertajuk ‘Integrasi Kemandirian Ekonomi Pesantren: Menyatukan Langkah Menuju Ekonomi Syariah yang Tangguh dan Inklusif.’
Kegiatan ini menjadi semacam studi tiru kelas berat, di mana Bank Indonesia (BI) Jawa Barat bersama perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggali langsung success story pengembangan ekosistem ekonomi pesantren dari Ponpes Amanatul Ummah, yang selama ini dikenal sebagai pesantren mandiri tanpa ketergantungan pada bantuan APBD maupun APBN.
Deputi Kepala Perwakilan BI Jawa Barat, Muslimin Anwar, menyampaikan bahwa kehadiran mereka di Amanatul Ummah adalah bagian dari upaya strategis membangun kemandirian ekonomi pesantren di seluruh Jawa Barat.
“Hari ini ada sekitar 20 pesantren dari 10 kabupaten dan kota di Jawa Barat yang hadir. Mereka ini adalah pimpinan-pimpinan unit usaha pesantren yang ingin belajar dari keberhasilan Ponpes Amanatul Ummah bagaimana membangun sistem ekonomi pesantren yang berdaya dan berkelanjutan,” ujarnya.
Menurut Muslimin, langkah ini menjadi bagian penting dari strategi nasional penguatan ekonomi syariah. Ia menyebut bahwa secara global Indonesia kini berada di posisi ketiga dalam pengembangan ekonomi syariah, di bawah Malaysia dan Arab Saudi.
“Dari 8,23 miliar populasi dunia, sekitar 2 miliar lebih adalah penduduk muslim. Artinya, 25% dari total penduduk dunia adalah potensi pasar syariah yang luar biasa besar. Jangan sampai kita hanya jadi penonton atau sekadar konsumen. Sudah saatnya pesantren dan umat Islam menjadi produsen,” tegasnya.
Muslimin menyebut bahwa Indonesia punya 4,9 juta santri yang bisa menjadi kekuatan ekonomi baru.
“Santri-santri ini jangan hanya jadi pembeli, tapi juga jadi supplier. Selama ini rantai pasok makanan dan minuman Indonesia masih banyak disuplai dari luar negeri dari Brasil sekitar Rp450 triliun dan Tiongkok Rp550 triliun. Kalau semua pesantren bisa bergerak bersama, potensi ekspor kita bisa luar biasa,” jelasnya.
Muslimin juga mengungkapkan bahwa sebelumnya BI Jabar telah melakukan studi ke Ponpes Sunan Drajat, Paciran, Lamongan, yang sukses membangun ekosistem ritel pesantren.
“Mereka memiliki jaringan 80 toserba dan 100 koperasi pesantren di empat kabupaten/kota. Ada hotel, pusat konvensi, pusat perbelanjaan, hingga kafe. Itu contoh bagaimana pesantren bisa berdiri di kaki sendiri,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kunjungan ke Amanatul Ummah diharapkan bisa memberikan inspirasi serupa.
“Kami berharap, dari sini teman-teman pimpinan pesantren bisa mendapatkan motivasi dan pengetahuan baru. Visi pendidikan di Amanatul Ummah ini luar biasa. Lulusannya punya tren global dan daya saing tinggi, banyak yang menembus universitas top dunia,” kata Muslimin.
Turut hadir dalam rombongan BI Jabar dan Pemprov Jabar antara lain:
1. Prof. Jajang W. Mahri, Wakil Kepala Manajemen KDEKS Jawa Barat
2. Yusuf Hasanuddin, Analis Kebijakan Biro Perekonomian Provinsi Jawa Barat
3. Soleh, Anggota KDEKS Subdivisi Lembaga Keuangan Syariah
4. Beserta 20 perwakilan pesantren dari 10 Kabupaten dan Kota Se-Jawa Barat.
Sementara itu, Pendiri dan Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah, Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, menyambut rombongan dengan narasi yang menampar kesadaran banyak orang.
“Saya sepakat, pesantren harus berdaya. Pesantren tidak boleh jika hanya mengandalkan bantuan dari APBD maupun APBN,” lontar Kyai miliarder nan dermawan inj.
Menurutnya, saat berusia 9 tahun semenjak berdiri, Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Pacet ini tumbuh layaknya ‘kota kecil’ dengan sembilan unit usaha padat karya yang bukan hanya menopang kebutuhan pesantren, tapi juga memberdayakan masyarakat sekitar.
“Yang saya lakukan adalah memastikan seluruh kebutuhan pesantren, dari hulu sampai hilir, harus dipenuhi oleh usaha pesantren sendiri. Dari makanan, minuman, sampai kebutuhan santri, semua harus dikelola oleh pesantren,” tegasnya.
Ia menambahkan, marwah pesantren sebagai lembaga pencetak generasi bangsa beriman, bertaqwa, berilmu dan berintegritas harus dijaga.
“Pesantren mandiri bukan hanya kuat secara ekonomi, tapi juga berkarakter dan kreatif. Kemandirian ekonomi pesantren bukan haya soal uang, tapi soal martabat,” imbuh Kyai Asep.
Di tengah tren modernisasi pesantren, Kyai Asep juga mengingatkan agar semangat ekonomi jangan sampai menenggelamkan ruh pendidikan.
“Banyak pesantren terlalu fokus ke ekonomi, tapi lupa pada tujuan akademik santri. Sebaliknya, ada yang hanya fokus pada ilmu agama dan melupakan ilmu dunia. Amanatul Ummah berusaha menafikan dikotomi itu. Agama dan ilmu umum harus berjalan seiring, karena keduanya adalah jalan menuju kemuliaan,” tuturnya.
Dengan filosofi itu, Amanatul Ummah menempatkan dirinya sebagai pesantren yang bukan hanya mencetak hafidz dan ulama, tapi juga ilmuwan, ekonom, dan teknokrat muslim. Tak heran, lulusannya banyak diterima di universitas-universitas top dunia, terutama di fakultas sains dan teknologi.
Kunjungan BI Jawa Barat bersama rombongan ke Amanatul Ummah untuk studi biru menjadi simbol penting kolaborasi antara sektor keuangan syariah dan dunia pendidikan Islam. Dalam sambutan penutup, pihak pesantren menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam.
“Sebagai mitra strategis dalam perjuangan besar kita membangun kemandirian ekonomi umat islam melalui penguatan peran pesantren,” ujarnya.
Kegiatan ini bukan sekadar kunjungan, tetapi pengakuan simbolik bahwa ekonomi syariah dan penguatan pesantren bukan dua dunia yang terpisah.
Bahwa kemandirian ekonomi umat bisa dimulai dari mandirinya pesantren tempat santri menimba ilmu, dari koperasi kecil di pesantren, dari tangan-tangan yang dulu hanya memegang kitab, kini juga memegang neraca keuangan.
Dan dari Pacet yang sejuk inilah, mimpi besar itu dimulai bahwa pesantren bisa menjadi pusat ekonomi baru yang berpijak pada iman, bergerak dengan ilmu, dan berlari bersama teknologi.





