Beranda Daerah Atap Asrama Ponpes Ambruk di Situbondo, 1 Meninggal 11 Luka, BPBD Jatim Ungkap Penyebab
Daerah

Atap Asrama Ponpes Ambruk di Situbondo, 1 Meninggal 11 Luka, BPBD Jatim Ungkap Penyebab

Kondisi terkini ambruknya atap asrama putri Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Syekh Abdul Qodir Jaelani Desa Belimbing, Kecamatan Besuki, Situbondo, Jatim. Rabu, (29/10/2025).

Situbondo, Moralita.com – Rabu dini hari yang seharusnya sunyi berubah menjadi malam penuh jerit dan debu. Sebuah bangunan asrama putri di Pondok Pesantren Salafiah Syafi’iyah Syekh Abdul Qodir Jaelani, Desa Blimbing, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo, ambruk sekitar pukul 01.00 WIB, menimpa para santriwati yang tengah beristirahat.

Satu santriwati dilaporkan meninggal dunia, sementara 11 lainnya mengalami luka-luka, sebagian di antaranya harus menjalani operasi akibat luka berat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur memastikan seluruh korban telah dievakuasi dan sedang menjalani perawatan medis di rumah sakit terdekat.

“Pada hari Rabu, dini hari telah terjadi peristiwa atap rubuh di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Syekh Abdul Qadir al-Jailani,” ujar Kalaksa BPBD Jatim, Gatot Soebroto, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.

Menurut Gatot, berdasarkan laporan petugas lapangan, asrama putri tersebut dihuni 19 santriwati. Dari jumlah itu, lima orang menjadi korban langsung: satu meninggal dunia, dua luka berat, dan dua luka ringan. “Untuk korban yang luka berat dan luka ringan saat ini sedang dirawat di rumah sakit,” jelasnya.

Baca Juga :  PAN Targetkan 8 Kursi DPR RI dari Jatim, Sekjen Eko Patrio Pimpin Konsolidasi DPW Perdana

Sementara itu, korban yang meninggal telah dimakamkan oleh pihak keluarga pada Rabu siang. “Satu santriwati yang meninggal sudah dimakamkan oleh pihak keluarga siang tadi,” kata Gatot.

Pengasuh pondok, KH Muhammad Hasan Nailul Ilmi, menuturkan bahwa ambruknya atap asrama terjadi setelah hujan lebat disertai angin kencang mengguyur kawasan Besuki.

“Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 00.30, setelah hujan deras dan angin kencang. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh keras dari arah asrama putri,” ungkapnya.

Gemuruh yang awalnya disangka petir, ternyata suara atap bangunan yang roboh menimpa para santri yang tengah tidur.
“Yang ambruk bagian atapnya, sementara temboknya masih berdiri,” kata Hasan.

Para pengurus pondok bersama warga sekitar langsung bergegas mengevakuasi korban. Beberapa santri dibawa ke Puskesmas Besuki, sementara dua lainnya dilarikan ke RSUD Besuki karena mengalami luka cukup parah.

“Dua santri yang dirawat di RSUD Besuki harus dioperasi karena lukanya serius,” tambahnya.

KH Hasan juga membenarkan bahwa satu santriwati akhirnya meninggal dunia setelah sempat mendapatkan perawatan medis. “Santriwati tersebut sebelumnya memang dalam kondisi sakit dan baru kembali ke pondok,” jelasnya lirih.

Kejadian ini bukan hanya tentang bangunan yang roboh. Ia juga tentang celah besar di antara idealisme pendidikan pesantren dan realitas manajemen keselamatannya.
Pesantren yang selama ini menjadi simbol pendidikan karakter, kemandirian, dan spiritualitas nyatanya masih menyimpan persoalan struktural dari infrastruktur yang rapuh hingga sistem keamanan bangunan yang sering luput dari standar teknis konstruksi.

Baca Juga :  Sumur Minyak Ilegal di Blora Meledak, Dua Warga Tewas dan Puluhan Mengungsi

Sebagian pengamat menilai, banyak pondok pesantren di daerah masih dibangun secara swadaya, tanpa pengawasan teknis dari ahli konstruksi. Anggaran terbatas, birokrasi rumit, dan orientasi sosial-keagamaan sering membuat aspek keselamatan fisik jadi nomor dua setelah semangat dakwah dan pendidikan.

Padahal, ribuan santri tinggal dan tidur di bawah atap-atap itu setiap hari.
Dan seperti tragedi di Situbondo ini, satu genting yang lepas bisa menjadi pengingat pahit tentang bagaimana nyawa bisa tergelincir di celah antara iman dan kelalaian teknis.

Hingga berita ini diturunkan, BPBD Jatim masih melakukan kajian penyebab pasti ambruknya atap asrama. Sejumlah pihak menduga, struktur bangunan yang tidak tahan terhadap beban air hujan dan terpaan angin kencang menjadi pemicu utama.

Namun, bagi publik, tragedi seperti ini bukan pertama kali terjadi. Dalam lima tahun terakhir, sedikitnya belasan pesantren di berbagai daerah mengalami musibah serupa mulai dari atap roboh, kebakaran asrama, hingga longsor di kompleks pendidikan.
Semua punya pola yang sama: bangunan padat, santri banyak, pengawasan minim.

Baca Juga :  Gubernur Khofifah dan Alim Markus Bahas Stabilitas Ekonomi dan Pencegahan PHK di Jawa Timur

Pertanyaan penting pun kembali mengemuka, Apakah standar keselamatan bangunan pesantren sudah masuk dalam pengawasan reguler pemerintah daerah dan Kementerian Agama?
Ataukah pesantren masih dibiarkan menjadi wilayah otonomi sosial yang baru diperhatikan ketika sudah ada korban jiwa?

Di tengah keheningan dini hari itu, atap asrama yang roboh mungkin hanya terdengar seperti suara gemuruh biasa. Tapi bagi dunia pendidikan pesantren, itu adalah alarm keras tentang pentingnya keselamatan dan tanggung jawab struktural.

Satu santriwati telah berpulang, sebelas lainnya terluka, dan puluhan santri lain kini mungkin tidur dengan rasa waswas di bawah atap yang sama.

Tragedi ini seharusnya tidak berhenti di berita duka. Ia harus menjadi titik balik pengawasan keselamatan di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan.

 

 

Sebelumnya

Sepeda Motor Brebet Massal di Jawa Timur, Bahlil Turunkan Tim Lemigas, Apakah Gegara Pertalite Oplosan Etanol?

Selanjutnya

PP 38/2025, Purbaya: Skema Pinjaman dari Pemerintah Pusat untuk Daerah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Moralita
Bagikan Halaman