Beranda Daerah Manuver Sekdakab Mojokerto Dinilai Hambat Program Presiden Prabowo, Intruksikan Lahan TKD untuk Kopdes Dipaksa Masuk Skema BGS/BSG seperti Swasta
Daerah

Manuver Sekdakab Mojokerto Dinilai Hambat Program Presiden Prabowo, Intruksikan Lahan TKD untuk Kopdes Dipaksa Masuk Skema BGS/BSG seperti Swasta

Gambar ilustrasi Intruksi Sekda kepada Camat.

Mojokerto, Moralita.com –  Ketua DPD Ormas Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) Kabupaten Mojokerto, Wiwit Hariyono, menilai surat edaran yang diterbitkan oleh atas nama Sekretaris Daerah Kabupaten Mojokerto Nomor: 143/5698/416-112/2025 ditandatangani Asisten Pemerintahan dam Kesra, Surat ini berpotensi menimbulkan tafsir keliru terhadap kebijakan Presiden Prabowo tentang pembentukan Koperasi Desa Merah Putih.

Surat tersebut dinilai terlalu jauh menerjemahkan maksud dan substansi Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3.1.3/4911/SJ tentang Pemanfaatan Barang Milik Daerah dan Aset Desa untuk Pengembangan Rencana Bisnis Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).

Surat Sekdakab Mojokerto tentang intruksi skema BGS/BSG sesuai masa jabatan Kepala Desa untuk lahan TKD diperuntukkan Kopdes Merah Putih.
Surat Sekdakab Mojokerto tentang intruksi skema BGS/BSG sesuai masa jabatan Kepala Desa untuk lahan TKD diperuntukkan Kopdes Merah Putih.

Manuver Sekdakab Mojokerto Dinilai Hambat Program Presiden Prabowo, Intruksikan Lahan TKD untuk Kopdes Dipaksa Masuk Skema BGS/BSG seperti Swasta

Menurut Wiwit, secara umum isi surat Sekdakab Mojokerto memang sejalan dengan garis besar SE Mendagri, terutama dalam hal memperbolehkan pemanfaatan aset desa untuk mendukung kegiatan ekonomi Koperasi Desa Merah Putih. Namun, ia menilai ada dua poin penting dalam surat Sekda yang tidak bersumber langsung dari edaran Mendagri dan justru berpotensi membatasi diskresi desa.

“Surat Sekdakab itu secara administratif sah, tapi dari sisi substansi hukum, terdapat tambahan tafsir yang melampaui SE Mendagri. Dua di antaranya ialah pembatasan masa sewa aset desa yang dikaitkan dengan masa jabatan kepala desa, serta penyebutan mekanisme BGS/BSG yang tidak pernah diatur dalam surat edaran pusat,” tegas Wiwit kepada wartawan, Senin (3/11/2025).

Ia menjelaskan, Surat Edaran Mendagri hanya mengatur tiga prinsip dasar:
(1) Aset desa boleh dimanfaatkan oleh KDMP;
(2) Tidak boleh mengubah status kepemilikan;
(3) Ditetapkan setiap tahun melalui keputusan kepala desa dengan mekanisme sewa sesuai peraturan perundang-undangan.

Tidak ada satu pun klausul yang mengatur batas waktu sewa berdasarkan masa jabatan kepala desa atau kewajiban menggunakan pola Bangun Guna Serah (BGS) maupun Bangun Serah Guna (BSG).

“Penambahan poin masa sewa yang tidak boleh melampaui masa jabatan kepala desa dan kewajiban BGS/BSG itu bukan berasal dari Mendagri, melainkan tafsir Sekda yang dimanuferkan dicari-carikan aturan dan ini tidak bisa dinisbatkan Disini letak problem yuridisnya,” terang Wiwit.

Menurutnya, kebijakan semacam itu harusnya dituangkan dalam Peraturan Bupati apabila Pemkab Mojokerto ingin menetapkannya sebagai norma baku yang mengikat, bukan melalui surat edaran Sekda. Sebab, Sekda hanya memiliki kewenangan administratif dan koordinatif, bukan normatif yang bersifat mengatur.

“Surat Sekda sifatnya hanya tindak lanjut, bukan pembentuk norma. Ketika redaksi surat menggunakan bahasa seolah perintah atau ketentuan wajib, itu berisiko menimbulkan kesalahpahaman di tingkat desa. Apalagi, konteks SE Mendagri lebih kepada fasilitasi, bukan pembatasan,” ujar Wiwit.

Baca Juga :  Terkuak Krisis Kondisi di BPR Majatama Mojokerto, Bupati Harus Bertindak Tegas!

Kebijakan daerah seharusnya tidak boleh mengerdilkan semangat pemberdayaan desa sebagaimana dimaksud dalam SE Mendagri. Surat dari pemerintah pusat, kata Wiwit, justru memberi ruang bagi desa untuk memanfaatkan asetnya secara produktif, sepanjang tidak mengubah status kepemilikan dan sesuai mekanisme hukum.

“Inti SE Mendagri adalah membuka peluang ekonomi desa melalui KDMP, bukan menambah belenggu administratif baru. Maka, Sekda seharusnya berhati-hati agar tidak menimbulkan kesan bahwa program KDMP justru dikendalikan secara birokratis, bukan dimandirikan secara ekonomis,” tutur Wiwit.

Lebih jauh, Wiwit mendorong agar Sekda Kabupaten Mojokerto melakukan klarifikasi dan koreksi redaksional terhadap surat Sekdakab tersebut, agar tidak disalahartikan sebagai kebijakan pusat atau arahan wajib Mendagri. Koreksi itu penting untuk menjaga sinkronisasi vertikal kebijakan antara pusat dan daerah, sekaligus memastikan kepala desa tidak terjebak dalam kesalahan administratif saat memanfaatkan aset desanya.

“Pemkab Mojokerto sebaiknya menegaskan kembali bahwa surat Sekda tersebut hanya bersifat koordinatif dan adaptif, bukan interpretasi normatif dari SE Mendagri. Ini penting agar kepala desa memiliki kepastian hukum dan tidak ragu mengembangkan potensi aset desanya melalui Koperasi Merah Putih,” pungkas Wiwit.

Surat Sekdakab Mojokerto tertanggal 20 Oktober 2025 itu memuat klaim bahwa Pemanfaatan Tanah kas desa (TKD) untuk pengembangan bisnis KDMP dilakukan melalui mekanisme pemanfaatan BGS/BSG (Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna).

Serta menyebut rujukan hukum:

  • Permendagri No. 1 Tahun 2016 jo. Permendagri No. 3 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Aset Desa,
  • Perbup Mojokerto No. 64 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Aset Desa.

Klaim Sekda ini seolah KDMP harus menggunakan mekanisme BGS/BSG, merupakan penyimpangan tafsir substantif terhadap semangat regulasi program prioritas Presiden Prabowo, dengan beberapa alasan fundamental yakni:

  • KDMP bukan entitas swasta tetapi entitas koperasi negara senagai program prioritas Presiden Prabowo.
  • BGS/BSG (Bangun Guna Serah / Bangun Serah Guna) secara hukum adalah mekanisme pemanfaatan aset pemerintah oleh PIHAK KETIGA (swasta).

Regulasi ini digunakan jika aset negara dipinjamkan untuk dikelola pihak luar pemerintahan dengan kewajiban membangun dan menyerahkan kembali setelah periode tertentu.

Dalam hal KDMP, pihak pengelola bukan pihak ketiga, melainkan lembaga yang difasilitasi pemerintah sendiri di bawah koordinasi Mendagri, Kemenkop UKM, dan Kemendesa.

Maka menurut Wiwit, penerapan BGS/BSG secara hukum salah kaprah, karena menempatkan KDMP seolah-olah pihak luar (swasta) yang ‘menyewa atau membangun di atas tanah desa’.

Baca Juga :  Pemkab Mojokerto Siapkan Legalitas 60 Koperasi Desa Merah Putih Tahap I, Akan Segera Dilaunching Bupati Mojokerto

“Dengan memaksakan mekanisme BGS/BSG, Sekda Kabupaten Mojokerto seolah menempatkan Koperasi Desa Merah Putih sebagai investor atau pihak swasta yang menyewa aset desa. Padahal secara politik hukum, KDMP adalah alat negara dalam program ekonomi Presiden Prabowo. Ini jelas membingungkan Kepala Desa,” ulasnya.

Permendagri No. 1/2016 jo. No. 3/2024 memang mengatur BGS/BSG, tetapi konteksnya adalah kerjasama pemanfaatan antara Pemerintah Desa dan pihak ketiga di luar pemerintahan, bukan antara desa dan lembaga pemerintah yang dibentuk oleh negara sendiri.

KDMP bukan pihak ketiga, ia subjek program prioritas pemerintah pusat untuk stimulus peningkatan perekonomian masyarakat desa.

Karena itu, secara yuridis:
Menyebut KDMP sebagai pihak yang harus melakukan BGS/BSG berarti menganggapnya sebagai entitas di luar pemerintahan desa.

Hal ini bertentangan dengan Permendesa 10/2025, yang justru menegaskan peran Kepala Desa sebagai pembina, pengawas, dan pemberi izin pembiayaan KDMP.

BGS/BSG memerlukan investasi swasta, bukan dukungan Dana Desa
Dalam konsep BGS/BSG yang dimanuferkan Sekda Kabupaten Mojokerto kepada Camat dan Kepala Desa:

  • Pihak ketiga menanggung biaya pembangunan aset,
  • Pemerintah hanya menerima hasil serah guna setelah periode kerja sama selesai.

Sedangkan KDMP, berdasarkan Permendesa 10/2025 adalah:

  • Dibiayai melalui program pemerintah pusat.
  • Didukung oleh Dana Desa jika diperlukan.
  • Dikelola langsung oleh masyarakat desa.

Artinya, KDMP tidak mengandung unsur investasi swasta, sehingga tidak relevan sama sekali dengan model BGS/BSG.

“Surat Sekda Mojokerto itu membuat kerancuan struktural. Kepala Desa bisa salah paham, apakah Koperasi Merah Putih ini milik negara atau investor? Padahal Presiden Prabowo sudah menegaskan, KDMP adalah koperasi rakyat binaan negara, bukan korporasi swasta,” tegas Wiwit.

Dari sisi governance, Surat Sekda Kabupaten Mojokerto seharusnya memfasilitasi koordinasi lintas kecamatan, bukan menambahkan norma atau mekanisme hukum baru.

Namun dalam praktiknya, surat ini menetapkan batasan dan model pemanfaatan aset (BGS/BSG) tanpa dasar normatif baru (Perbup atau Perda), sehingga berpotensi menimbulkan administrative overreach Sekdakab bertindak melampaui kewenangan administratifnya.

“Sekda itu seharusnya menjadi jembatan antara pusat dan desa, bukan justru menambah tafsir baru. Ketika tafsirnya justru menggeser semangat kebijakan nasional, di situlah mulai terjadi deviasi birokratis,” ujar Wiwit.

Baca Juga :  RSUD Prof. dr. Soekandar Mojokerto Menuju Cancer Center Unggulan, Gelar Pelatihan BTCLS untuk Tingkatkan Kompetensi Perawat

Dampak Lapangannya, Kepala Desa menjadi bingung dan terjebak risiko hukum.
Kepala desa kini dihadapkan pada dilema,
Di satu sisi, SE Mendagri dan Permendesa 10/2025 memerintahkan mereka mendukung KDMP sebagai bagian program nasional.

Di sisi lain, Surat Sekdakab Mojokerto memerintahkan mereka menggunakan mekanisme BGS/BSG yang mensyaratkan proses kerja sama, sewa, dan kontrak panjang dengan ‘pihak ketiga/swasta’ padahal KDMP bukan pihak ketiga/swasta.

Akibatnya:
Banyak kepala desa ragu mengambil keputusan karena takut salah prosedur;
Pelaksanaan KDMP di Kabupaten Mojokerto terhambat oleh tumpang tindih tafsir administratif.

Program nasional Presiden Prabowo berpotensi terganggu implementasinya di tingkat desa di Kabupaten Mojokerto akibat salah interpretasi dan membuat kebijakan lokal yang bertentangan.

Wiwit akan melaporkan hal ini kepada Presiden Prabowo melalui Sekretris Kabinet, poin-poin yang akan dilaporkan sebagai berikut:

1. KDMP adalah koperasi negara berbasis desa, bukan koperasi swasta karena itu tidak tepat diperlakukan sebagai pihak ketiga dalam mekanisme BGS/BSG.

2. Surat Sekdakab Mojokerto menafsirkan terlalu jauh SE Mendagri, dengan cara memasukkan mekanisme BGS/BSG yang tidak relevan secara hukum maupun politik kebijakan.

3. Pendekatan ini mengaburkan garis besar kebijakan Presiden Prabowo yang justru menegaskan peran negara dalam memfasilitasi ekonomi desa, bukan menyerahkannya ke mekanisme komersial.

4. Dampaknya nyata menjadikan Kepala Desa bingung, karena surat Sekda berisi tafsir hukum yang menggeser KDMP dari entitas kebijakan publik menjadi seolah entitas bisnis swasta.

5. Untuk mengembalikan ke jalur hukum yang benar, Pemkab Mojokerto perlu mengoreksi surat tersebut, mencabut frasa ‘BGS/BSG’, dan menggantinya dengan istilah ‘pemanfaatan aset desa untuk program pemerintah pusat’ sebagaimana maksud Permendesa 10/2025 dan SE Mendagri.

“Agar birokrasi daerah tidak mengaburkan semangat kebijakan nasional dengan tafsir teknokratik yang salah tempat. Sekdakab Mojokerto harus mengoreksi suratnya karena KDMP bukan investor, bukan swasta, tapi representasi negara di desa. Jangan sampai kesalahan tafsir administratif justru menghambat arah kebijakan Presiden Prabowo, kami akan melaporkan hal ini ke Pemerintah pusat,” tandasnya.

Sampai berita ini diturunkan pihak Sekretariat Daerah Kabupaten Mojokerto masih bungkam enggan memberikan keterangan saat awak media berusaha meminta klarifikasi, hal ini menjadi teladan tindakan yang kurang etis disaat masyarakat ingin mendengar dari sisi pejabat pengampu kebijakan pada era keterbukaan informasi publik.

 

Sebelumnya

Mic Belum Dimatikan Admin, Live Medsos Walikota Surabaya Eri Cahyadi Bocor, Antara Human Error dan Citra Digital Pemerintah

Selanjutnya

Kredit Fiktif Rp 1,2 Miliar di BRI Jombang, Kejari Naikkan Status ke Penyidikan, Tersangka Segera Ditetapkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Moralita
Bagikan Halaman