Beranda News Tercium Modus Afiliator SMPN di Kabupaten Mojokerto Suruh Siswa Beli LKS di Toko Tunjukan
News

Tercium Modus Afiliator SMPN di Kabupaten Mojokerto Suruh Siswa Beli LKS di Toko Tunjukan

Kegiatan belajar mengajar diluar ruang kelas salah satu SMPN di Kabupaten Mojokerto.

Mojokerto, Moralita.com – Fenomena pembelian Lembar Kerja Siswa (LKS) di sekolah negeri kembali memantik polemik lama yang tampaknya sulit mati. Di SMPN 1 Sooko, Kabupaten Mojokerto, sejumlah orang tua siswa mengeluhkan praktik wajib beli LKS yang diarahkan ke toko tertentu yang disebut-sebut rekomendasi guru.

Keluhan ini pertama kali mencuat setelah Ketua DPD Ormas Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1), Wiwit Hariyono, menerima laporan dari beberapa wali murid. Ia menilai praktik tersebut sudah mengarah pada pelanggaran serius, baik secara hukum pendidikan, etika publik, maupun prinsip tata kelola sekolah.

“Ini sudah bukan rahasia lagi. Sekolah tidak menjual langsung, tapi mengarahkan ke toko tertentu. Kalau bukan di situ, guru bilang tidak sesuai bahan ajar. Ini bentuk pungutan terselubung yang bisa dikategorikan maladministrasi pendidikan,” tegas Wiwit kepada Moralita.com, Jumat (31/10/2025).

Berdasarkan keterangan wali murid, guru di SMPN 1 Sooko meminta murid membeli 12 LKS untuk satu semester. Masalahnya bukan jumlahnya, tapi intervensi penunjukan toko dimana siswa harus membeli.

Siswa diarahkan untuk membeli di satu toko tertentu, yang disebut-sebut sudah ditunjuk oleh pihak sekolah. Dalihnya, buku itu merupakan bahan ajar resmi yang sudah disepakati guru.

Namun, di balik kalimat lembut itu tersimpan tekanan yang tidak kecil.
Guru menolak mengajar dengan buku lain, nilai tugas diambil dari soal di LKS tersebut, dan murid yang tak membeli akan tertinggal.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa larangan jual-beli LKS berlaku mutlak bagi seluruh elemen sekolah mulai dari guru, tenaga kependidikan, hingga komite sekolah. Tidak ada ruang abu-abu di sini.

“Tujuannya jelas, untuk mencegah komersialisasi pendidikan dan menghindarkan siswa serta orang tua dari beban biaya tambahan yang sebenarnya tidak perlu,” paparnya.

Larangan ini punya dasar hukum yang kuat dan bukan sekadar imbauan musiman.
Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 181 huruf (a) menegaskan:

Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, LKS, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, maupun seragam sekolah.

Baca Juga :  FKI-1 Ungkap Hasil Koordinasi Laporan dengan Penyidik KPK, Sepakat Temuan Anomali Anggaran Narsum Wasbang DPRD Kabupaten Mojokerto 

Artinya, guru dalam kapasitasnya sebagai pengajar tidak boleh berubah fungsi menjadi tenaga pemasaran maupun afiliator buku LKS.

Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2020 Pasal 12 huruf (a) memperluas larangan itu kepada komite sekolah, Komite Sekolah dilarang menjual buku pelajaran atau seragam sekolah dalam bentuk apa pun.

Sementara dalam PP 17/2010 Pasal 18 huruf a ditegaskan bahwa larangan serupa juga berlaku untuk siapa pun yang berada di satuan pendidikan.

Tujuannya?

Larangan ini bertujuan untuk menghindari pungutan liar (pungli) di lingkungan sekolah. Pemerintah ingin memastikan siswa dan orang tua tidak terbebani biaya tambahan hanya untuk mendapatkan buku pelajaran atau LKS yang seharusnya disediakan sekolah.

Apa sanksinya jika melanggar?

Sekolah atau pihak terkait yang tetap nekat menjual LKS bisa dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pencopotan jabatan. Dalam kasus tertentu, pelanggaran ini bahkan bisa masuk ranah pidana, terutama jika terbukti melakukan pungli.

Pemerintah sebenarnya telah menyalurkan Dana BOS yang mencukupi untuk pengadaan buku pelajaran dan LKS. Karena itu, sekolah tidak diperbolehkan menjual materi ajar apa pun kepada siswa.

Jika masih ingin menggunakan LKS, sekolah disarankan mengoptimalkan Platform Merdeka Mengajar atau mencari solusi pembelajaran lain yang tidak membebani siswa.

Besaran jumlah dana BOP dan BOS telah ditetapkan dalam Keputusan Mendikdasmen Nomor 8/P/2024.

Dana BOP dan BOS 2025 ditetapkan berdasarkan indeks biaya pendidikan masing-masing daerah sehingga akan terjadi perbedaan besaran antara daerah satu dengan yang lain.

Jumlah yang akan diterima oleh setiap satuan pendidikan tergantung dari jumlah murid masing-masing. Anak didik menerima besaran dana BOP dan BOS sesuai dengan jenjang pendidikan.

Berikut adalah besaran dana BOP dan BOS 2025 pertahun untuk setiap murid sesuai jenjang satuan pendidikan:

  1. Dana BOP Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD): Rp600.000,
  2. Dana BOS Sekolah Dasar (SD): Rp940.000,
  3. Dana BOS Sekolah Menengah Pertama (SMP): Rp1.160.000,
Baca Juga :  Pemkab Mojokerto Keluarkan Surat Edaran Penundaan Realisasi Belanja Barang dan Jasa Tahun Anggaran 2025

Dengan demikian, baik guru maupun komite sekolah tidak boleh menunjuk toko tertentu, mengarahkan pembelian, atau bahkan sekadar menyarankan tempat membeli LKS.

Wiwit menegaskan, bila ada praktik semacam itu, masyarakat jangan diam. “Orang tua atau masyarakat dapat melaporkan praktik penjualan LKS yang dilakukan oleh pihak sekolah, guru, atau komite secara langsung ke Dinas Pendidikan maupun Inspektorat untuk ditindaklanjuti,” ujarnya.

Ia juga memberi panduan sederhana tapi penting, jika ada guru atau pihak sekolah yang memaksa siswa membeli LKS, tanyakan dasar hukumnya.

“Tanya saja apakah ada surat resmi dari Dinas Pendidikan yang mengizinkannya. Jika tidak ada, abaikan saja. Tidak ada kewajiban membeli LKS, apalagi di toko tertentu,” tegasnya.

Lebih lanjut, pihaknya mengimbau agar sekolah-sekolah tidak terus bergantung pada pola lama yang beraroma bisnis. Ada banyak alternatif untuk memenuhi kebutuhan belajar tanpa harus merogoh kantong orang tua.

“Sekolah seharusnya memanfaatkan buku paket yang telah disubsidi pemerintah. Buku-buku itu bisa diakses secara gratis oleh siswa sebagai pegangan utama dalam pembelajaran,” jelasnya.

Meski guru tidak menjual langsung, menginstruksikan siswa membeli di toko tertentu tetap dikategorikan penjualan tidak langsung (indirect sale). Hakikatnya sama bahwa distribusi bahan ajar dikendalikan pihak sekolah.

Wiwit menjelaskan tindakan tersebut juga bisa dikategorikan melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Sekolah yang mengarahkan pembelian ke satu toko tertentu bisa dikategorikan melakukan perjanjian eksklusif dan berpotensi menciptakan monopoli lokal.

Jika ada pembagian keuntungan (fee) antara pihak toko dan oknum guru, maka kasus ini bisa naik ke ranah dugaan gratifikasi atau pelanggaran antimonopoli.

Lebih lanjut, Wiwit memyebut tindakan tersebit masuk ranah melanggar UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Siswa dan orang tua adalah konsumen pendidikan yang punya hak untuk memilih.
Jika mereka diarahkan, ditekan, atau bahkan diancam dengan sanksi akademik, maka tindakan itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak konsumen.

Jika sekolah sudah menjadi sales distributor bagi toko tertentu, maka fungsi pendidikan sebagai ruang moral dan rasional berubah menjadi arena transaksional yang banal.

Baca Juga :  Upacara Kemerderkaan Kyai Asep Wejang Santri Amanatul Ummah: Siap Jadi Ulama? Presiden? Jenderal? Konglomerat? yang Ya Lal Wathan

“Kalau sekolah sudah punya toko bayangan, muridnya bukan lagi pembelajar tapi pelanggan paksa,” sindir Wiwit.

Respons Plt Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto.

Menanggapi hal tersebut, Plt Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto, Yo’ie Afrida Soesetyo Djati, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah mewajibkan, mengarahkan, apalagi mengintervensi sekolah dalam urusan pembelian LKS atau buku ajar.

“Pihak Dinas Pendidikan tidak pernah mewajibkan, mengintervensi, atau mengarahkan sekolah dalam pembelian buku, LKS, maupun media pembelajaran lain, baik yang bersumber dari dana BOS maupun swadaya siswa,” tegas Yo’ie saat dikonfirmasi, Jumat (31/10/2025).

Yo’ie menegaskan, pihaknya akan segera melakukan klarifikasi dan investigasi langsung ke SMPN 1 Sooko untuk memastikan fakta lapangan serta menindaklanjuti laporan masyarakat.

“Soal apa yang terjadi akan kami klarifikasi pada pihak SMPN 1 Sooko dan akan kami informasikan tindak lanjut berikutnya. Semua akan kami lakukan sesuai aturan yang berlaku, termasuk jika ada potensi punishment terhadap pihak sekolah,” ujarnya.

Ia juga mengimbau seluruh kepala sekolah SMP di Kabupaten Mojokerto agar tidak menjadikan pengadaan buku atau LKS sebagai ladang bisnis terselubung dan mematuhi prinsip transparansi serta akuntabilitas dalam proses pembelajaran.

 

Catatan Redaksi

Kasus LKS di Kabupaten Mojokerto ini adalah potret kecil dari masalah besar bagaimana semangat pendidikan gratis dojamin Pemerintah sering dikalahkan oleh kebiasaan kecil yang sudah sistemik.

Murid dipaksa beli, guru diam, kepala sekolah tidak tahu, dan dinas pendidikan baru bergerak ketika mulai ramai di media.

Padahal, pendidikan seharusnya jadi ruang pembebasan, bukan ladang komersialisasi.
Kalau sekolah masih sibuk jualan LKS lewat toko tertentu, maka murid bukan lagi pembelajar melainkan target pasar paling mudah dijualin ilmu dengan harga eceran.

Sebelumnya

PP 38/2025, Purbaya: Skema Pinjaman dari Pemerintah Pusat untuk Daerah

Selanjutnya

Mic Belum Dimatikan Admin, Live Medsos Walikota Surabaya Eri Cahyadi Bocor, Antara Human Error dan Citra Digital Pemerintah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Moralita
Bagikan Halaman